"Mas ayo ikut acara buka pantang," ajak Pak Prian, orang asli Enggano dari suku Kaitora.Â
Saya mengiyakan dan melajulah sepeda motor kami ke lokasi transmigran. Di bawah terpal warna-warni kami dipersilakan duduk. Saya bengong, karena acara menggunakan bahasa Enggano.
Pulau Enggano sebagai salah satu pulau terluar di Indonesia, berada di sisi barat daya Pulau Sumatera tepatnya di provinsi Bengkulu.Â
Pulau ini unik, bukan hanya sebagai pulau samudra yang tidak pernah menyatu dengan pulau Sumatera, tetapi juga dengan budayanya.
Orang asli Pulau Enggano terdiri dari 5 suku, yakni Kaitora, Akauno, Kaahao, Kaharuba dan 1 suku Kaamay.Â
Suku Kaamay disematkan bagi para pendatang, seperti dari suku Jawa, Bugis, Minang, Palembang, Batak dan lain sebagainya.Â
Setelah ada upacara angkat suku atau masuk suku, maka seorang pendatang sah sebagai suku Kaamay. Menarik lagi, semua suku harus mengikuti aturan, termasuk Kaamay.
Masyarakat Enggano multi etnis, begitu juga ada 3 agama di Sana, yakni Islam, Kristen, dan Katolik. Salah satu wujud toleransi adalah adanya upacara buka pantang, di mana upacara ini dilakukan karena ada keluarga yang sedang berduka.
Jika ada orang Enggano dari salah satu suku meninggal dunia, akan ada pantang bagi suku lain. Pantang tersebut adalah tidak boleh mengadakan acara yang mengundang masa, seperti pesta, hajatan, atau acara keramaian lain. Pantang ini untuk menghormati keluarga yang sedang berduka.
Acara pantang ini berlangsung selama 7 hari atau lebih sesuai dengan kesepakatan. Setelah hari pantang selesai saatnya membuka pantang dengan upacara buka pantang. Upacara ini akan dihadiri oleh semua kepala suku dan anak suku beserta perwakilannya.