Tamu adalah raja, dan tamu tersebut menginginkan Lombok seperti Bali 30 tahun yang lalu. Inilah salah satu kata kunci mengapa, turis asing mengalihkan destinasi wisatanya ke Lombok, karena tempat yang seharusnya mereka tuju sudah banyak mengalami perubahan. Mereka justru seolah berada di kampung mereka sendiri, sedangkan mereka meminta bukan itu, tetapi yang asli di situ.
Bukan Lagi Nomor Dua
Lombok di Nusa Tenggara Barat bisa dikatakan sebagai destinasi kedua setelah Pulau Dewata. Bali lebih moncer dengan segala yang ada dan jauh lebih lama terkenal dibanding pulau di sisi timurnya. Namun tidak ada yang keliru jika saat ini para pelancong ada yang berbondong-bondong menggeser menuju arah timur.
Saat Bali sudah mandiri, kini giliran Lombok menjadi salah satu andalan pemerintah dengan status wisata super prioritas. Lombok sedang disolek sedemikian rupa agar bisa menjadi magnet para pelancong domestik maupun mancanegara.
Lombok yang dulu hanya dikenal dengan suku Sasak dan Gunung Rinjani, kini menjadi raksasa wisata yang bangun dari tidurnya. Mirip dengan Samalas yang sebentar menjadi super volcano, siap meledakan diri dengan atraksi-atraksi wisatanya yang baru.
Lombok tidak lagi menjadi nomor dua, tetapi kini sudah mandiri dan siap menjadi tujuan utama para pelancong. Apa yang dulu tidak ada, sekarang sudah serba ada.
Saya teringat dahulu tahun 2003 saat pertama kali mendaki Gunung Rinjani. Hanya ada beberapa pendaki yang saya temui sepanjang jalur pendakian, kini harus mengisi daftar antrean.
Bersiap Menanti Tamu
Pertama kali menginjakkan kaki di Lombok, saya harus menempuh jalan darat selama 4 hari 3 malam. Bisa dibayangkan betapa lelahnya. Kini cukup 4 jam 30 menit, berangkat dari depan rumah dan sampai di Lombok International Airport. Jika dihitung-hitung dengan kurs saat ini, lebih murah naik pesawat.
Tidak berbeda jauh dengan saat harus menyebrang menuju Lombok yang harus estafet ke Pulau Bali, sekarang ada yang dari Jawa menuju Lombok melalui Surabaya.