Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bekantan, Monyet Belanda di Teluk Balikpapan

29 Juni 2021   14:41 Diperbarui: 3 Juli 2021   16:51 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setengah hari saya duduk terpaku di bawah Bakau Rhizopora apiculata. Akar-akar napasnya menyamarkan saya dari lingkungan sekitar, tetapi tidak untuk nyamuk bakau. Hari ini saya sedang kurang beruntung, monyet belanda yang saya tunggu tak kunjung datang.

Bekantan (Proboscis monkey), monyet endemik Pulau Borneo. Seperti primata-primata lainnya, monyet ini dengan lincah berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Teriakan mereka khas, apalagi bentuk hidung yang kelewat mancung dan warna bulu mereka yang blonde. Itulah lamunan saya sehari ini untuk mengabdikan monyet belanda ini.

Sepertinya saya kurang beruntung kata Agus Bei, pengelola Mangrove Center di Balikpapan. "Biasanya, menjelang sore para bekantan ini merangsek masuk ke sini untuk bermalam. Besok ke sini lagi, ini sudah mau maghrib," katanya. 

Kamera dan lensa yang sudah siap bidik saya preteli dan masukan tas. Sore ini saya keluar dari mangrove dan kembali ke Pusat Kota Selicin Minyak-Balikpapan.

Hari berikutnya saya mengadu keberuntungan lagi untuk menjumpai monyet hidung botol ini. Kali ini saya di temani Unggul, seorang geolog dari Museum Geologi Bandung. 

Kebetulan dia ingin melihat kondisi sungai di Teluk Balikpapan. Sekali mendayung, saya juga punya misi untuk melihat vegetasi mangrove dalam penelitian saya sekaligus mendekati habitat Bekantan.

Sepertinya, hari itu buruk bagi saya. Sesampai di Mangrove Center pintu gerbangnya ada tulisan kapital TUTUP, sembari ada surat edaran wali kota. Lemas lutut saya, mungkin kunjungan saya cuma tinggal hari ini di tempat ini. Saya mencoba mengontak Pak Agus Bei siapa tahu diizinkan untuk mengakses.

"Untuk tujuan pengamatan dan penelitian saya persilakan, nanti saya sediakan perahu dan juru mudinya," suaranya di balik ponsel saya. Semoga peruntungan saya berlanjut, senandika saya.

Memotret hewan liar di habitat aslinya memang gampang-gampang mudah. Jika beruntung akan dengan mudah didapat, jika sial sampai monyet beranak pinak juga belum tentu dapat. Namun, tetap ada ilmunya, karena hewan liar memiliki irama yang bisa kita baca. 

Mereka memiliki kebiasaan dan kita bisa hafalkan. Kata Pak Anto juru mudi saya yang sudah siap mengantar ke Teluk Balikpapan.

Ikan timpakul penghuni lumpur (Dokumentasi pribadi)
Ikan timpakul penghuni lumpur (Dokumentasi pribadi)
Perahu dari fiber perlahan berjalan menyusuri anak-anak sungai yang penuh dengan bakau yang rimbun. Dersik suara ikan timpakul (Periophthalmus modestus) terdengar manakala lari mengindar dengan berlari menerjang lumpur. Sesekali Ikan belanak (Moolgarda seheli) melintas dengan bentuknya yang mirip dengan bandeng tapi ia lebih langsing.

Perahu berjalan makin cepat dan kali ini sudah berada di sungai yang cukup besar dan terlihat pipa-pipa Pertamina peninggalan Kolonial Belanda yang mengalirkan air dari Sungai Wein. 

"Mas di situ rumahnya Jhon," kata pak Anto. "Iya jhon, bekantan paling besar". Baru hendak saya menyiapkan lensa tele saya, sekelebat raja udang melintas. Paruh warna merah dan bulu warna biru yang khas. Saya kalah sigap.

Bekantan di teluk balikpapan (Dokumentasi pribadi)
Bekantan di teluk balikpapan (Dokumentasi pribadi)
Perahu perlahan mendekat ke tepi sungai dan benar saja, kawanan bekantan dengan berteduh di bawah kanopi pohon bakau. Saya melihat arloji saya, menunjuk angka 13. Panas menyengat tak mengendurkan niat saya untuk mencari monyet berbulu pirang ini.

"Mas bekantan itu tidak tahan panas, dia kalau panas begini mencari tempat teduh. Nanti kalau mendung atau pagi hari dia ada di pucuk-pucuk pohon. Dia juga tidak tahan dengan suara bising, terutama mesin perahu." Pak Anto menjelaskan perilaku bekantan. Pantas saja dia tahu spot-spot bekantan.

Hari keberuntungan saya. Puluhan frame saya dapatkan untuk mengabadikan Bekantan, dan beruntung si raja udang hinggap di dekat saya. Begitu juga dengan ikan yang berlajan sedang hilir mudik di atas lumpur yang lembek sembari menggoda kepiting bakau.

Renjana saya terpuaskan bertemu dengan Jhon dan kawan-kawan di habitat aslinya. Mereka adalah satwa endemik dan sangat sensitif dengan perubahan lingkungan. 

Saat ini mungkin dapat dengan mudah bisa kita temukan, semoga kedepannya mereka tetap hadir di habitat aslinya, bukan di museum atau berkas digital. Save Bekantan, begitu tulisan di dekat rumahnya si jhon.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun