Perahu berjalan makin cepat dan kali ini sudah berada di sungai yang cukup besar dan terlihat pipa-pipa Pertamina peninggalan Kolonial Belanda yang mengalirkan air dari Sungai Wein.Â
"Mas di situ rumahnya Jhon," kata pak Anto. "Iya jhon, bekantan paling besar". Baru hendak saya menyiapkan lensa tele saya, sekelebat raja udang melintas. Paruh warna merah dan bulu warna biru yang khas. Saya kalah sigap.
"Mas bekantan itu tidak tahan panas, dia kalau panas begini mencari tempat teduh. Nanti kalau mendung atau pagi hari dia ada di pucuk-pucuk pohon. Dia juga tidak tahan dengan suara bising, terutama mesin perahu." Pak Anto menjelaskan perilaku bekantan. Pantas saja dia tahu spot-spot bekantan.
Hari keberuntungan saya. Puluhan frame saya dapatkan untuk mengabadikan Bekantan, dan beruntung si raja udang hinggap di dekat saya. Begitu juga dengan ikan yang berlajan sedang hilir mudik di atas lumpur yang lembek sembari menggoda kepiting bakau.
Renjana saya terpuaskan bertemu dengan Jhon dan kawan-kawan di habitat aslinya. Mereka adalah satwa endemik dan sangat sensitif dengan perubahan lingkungan.Â
Saat ini mungkin dapat dengan mudah bisa kita temukan, semoga kedepannya mereka tetap hadir di habitat aslinya, bukan di museum atau berkas digital. Save Bekantan, begitu tulisan di dekat rumahnya si jhon. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H