Dahulu, Pulau dua ibarat las vegas. Di sana ada pusat pertokoan, rumah sakit, rumah-rumah orang Belanda, bahkan tempat judi. Begitu pengakuan Pak Harun tua-tua ada di Pulau Enggano, provinsi Bengkulu.
Hari ini saya berkesempatan menyambangi Pulau dua. Dari Malakoni saya mengendarai motor hampir 12 km jauhnya. Perjalanan menuju Pulau Dua dimulai dari dermaga nelayan dari Kahyapu. Dengan menumpang kapal nelayan saya dan rekan-rekan diajak menyebrang ke Pulau dua.
Dari selat kecil saya melihat gundukan batu karang. Konon itulah Pulau Bangkai. Nama yang mengerikan untuk nama sebuah pulau. Benar saja, dahulu pulau itu digunakan untuk mengisolasi mereka yang menderita penyakit kusta. Di Pulau tersebut mereka ditinggalkan sampai ajal menjemput, dan diberinama Pulau Bangkai.
Sekitar 20 menit sampailah di Pula dua. Pulau ini kosong, namun ada beberapa bangunan permanen berupa pondok nelayan dan beberapa resort yang kosong. Sebuah perahu nelayang juga sedang bersandar untuk menanti malam.
Langsung saja, saya diajak masuk ke dalam pulau yang kini penuh dengan semak belukar dan nyamuk bakau yang ganas-ganas. Obat nyamuk oles dan parem urut tidak mau mengusur nyamuk yang terus mencari celah untuk menghisap darah.
Di sela-sela makam kuno, kami ditunjukan sisa-sisa pondasi bangunan masa lalu. Konon pulau ini adalah pulau utama di Enggano. Orang Belanda memilih tinggal di sini dari pada di Pulau Besarnya. Mereka lebih aman, karena semua bisa dikendalikan.
Kembali saya menyusuri hutan berkanopi rapat di Pulau Dua dan akhirnya lega setelah sampai di tepi pantai. Di sepanjang pantai ditemukan beberapa batu bara yang dulu adalah peninggalan Jepang. Sebenarnya pulau ini banyak menyimpan sejarah tenyang kolonial Jepang dan Belanda, namun saya sekarang terkesima dengan keindahannya.
Akhrinya saya merapat juga di sisi barat pulau ini. Ombaknya besar. Benar saja di pulau ini terdapat resort yang kebanyakan tamunya adalah para peselancar dari mancanegara. Kebetulan saya sempat berkenalan dengan pemilik resort, namun saat itu dia sedang di Bengkulu.
Saya menikmati snorkling, dan sepertinya pulau ini milik saya. Tidak bisa diungkapkan dengan kata, namun saat itu memang saya seorang diri yang "nyemplung".
Dusta apalagi yang kau nistakan "kata teman saya". Sembari di hamok dia menikmati air kelapa muda yang baru saja dipetik. "banyune nyeprit" katanya, maksdunya air kelapa sensasinya seperti minuman bersoda. Ah surga itu dan saya mengikutinya di hamok sebelah membayangkan romantika zaman Belanda.