Saya teringat saat terjadi kelangkaan air gegara PDAM tidak mampu memenuhi pasokan air. Ramai-ramai mahasiswa berdemo, termasuk saya. Usai demo saya ditanya dosen senior saya "solusi apa?" saya diam.Â
Lantas saya bertanya "lantas bapak bagaimana?".Â
"Saya akan mandi sekali sehari, itu cara beradaptasi dengan keadaan, percuma kamu demo tapi tidak ada solusi dan memberikan solusi, PDAM yang ahli saja juga pusing" katanya lalu pergi.
Hari ini saya kembali merenung tentang kondisi saat ini gegara pandemi corona. Kadang saya darah muda saya bergejolak, ingin nDemo Pemerintah, namun apakah bisa memberi solusi dan menjadi solusi. Saya teringat dosen saya dulu "adaptasi".
Kembali saya menerawang jauh ke belakang ribuan hingga jutaan tahun yang lalu. Saya membayangkan masih ada manusia purba yang bernama Homo Neanderthal dengan badan bonsornya, dan nampak kontras dengan Homo sapiens yang mungil.Â
Di depan sana nampak keluarga saurus-saurus yang seukuran haul truck yang hilir mudik di area tambang. Mereka berlari-lari diantara pohon raksasa sembari mengejar binatang-binatang kecil dan kaki dengan kuku tajamnya mencabik-cabik lumut yang tumbuh di bebatuan.
Sekarang dimana mana manusia Neanderthal, saurus, dan pohon-pohon raksana. Mereka punah, yang masih tinggal hanya manusia mungil, hewan kecil dan lumut. Ada apa dengan meraka, yang kini hanya bisa kita lihat lewat fosil.Â
Kini masih dengan mudah kita lihat mahluk-mahluk purba di sekitar kita, seperti; lumut, paku-pakuan, mungkin komodo yang dulu sempat dikejar dinosaurus, dan tentu saja kita. Semua itu adalah mahluk yang lolos dari seleksi alam yang kejam di masa lalu.
Mereka punah karena tidak mampu mengikuti perubahan alam. Mereka tidak naik kelas dalam ujian evolusi. Meskipun mereka kuat, namum mereka tidak bisa beradaptasi dan berakhir menjadi fosil yang terhimpit bebatuan.
Lantas saya berpikir, apakah ribuan dan jutaan tahun yang lalu ada virus, termasuk si brengsek corona. Tentu saja ada, meskipun susah sekali membuktikannya.Â
Mahluk mungil seperti bakteri, alga, jamur mikro sudah hadir jauh sebelum manusia ada. Bahkan ada toeri yang mengatakan mahluk hidup pertama adalah sianobakteria.
Semua mahluk tidak ada yang ingin mati konyol. Mereka tetap ingin eksis, bagaimanapun caranya. Dan kini ujian buat Homo sapiens yang masih bertahan hingga 2020 adalah perang melawan corona.
Sudah hampir 6 bulan dunia ini berpacu melawan corona. Entah sudah berapa juta liter disinfektan disemprotkan, berupa ribu liter hand sanitizer disapukan. Hasilnya masih saja ada yang tersisa buat si virus brengsek ini, bahkan ada yang grafiknya masih menanjak ke atas.
Manusia sedang menunjukan kekuatanya melawan seleksi alam ini. Manusia lupa, nenek moyangnya sudah mengajarkan bagaimana agar bisa eksis. Dahulu seleksi alam sangatlah kejam dibanding saat ini.Â
Akal budi manusia sudah berkembang pesat, sehingga bisa menciptakan vaksin atau upaya pencegahan. Namun di balik kejamnya masa lalu, masih ada juga yang selamat.
Saat ini manusia diajak beradaptasi terhadap seleksi alam ini. Corona tidak pilih-pilih musuh, yang dia hadapi hanyalah orang yang imunitas kuat dan lemah saja.Â
Manusia juga tidak bisa menutup diri dari ancaman musuh. Segalam macam virus bisa saja bersarang setiap saat, dan kali ini tergantung dari mekaninsme pertahanan dirinya.
Proses evolusi sedang berlangsung untuk menciptakan manusia-manusia yang adaptif dan selektif. Manusia yang adaptif adalah yang memahami situasi dan kondisi dan harus tahu harus bagaimana.Â
Sederhananya adalah ikuti anjuran mereka yang lebih paham dan menguasai, dalam hal ini pemerintah dan jajaranya. Ikuti saja, mereka sudah teruji dan belajar dari banyak hal, dan di belakang mereka berderet-deret para pakar.
Setelah menjadi manusia yang adaptif, mari ikuti dan persiapkan seleksi alami ini. Jaga diri masing-masing, dan bersiap menghadapi serangan ini. Manusia adalah produk seleksi alam.Â
Tidak percaya, kita yang hidup saat ini adalah pemenang dari seleksi alam yang ketat saat separo kembaran kita adu cepat menuju sel telur. Seleksi belum sampai disitu, sebab harus diuji selama 9 bulan 10 hari, lalu lahir sampai saat ini. Ribuan bahkan jutaan jenis mikroorganisme sudah mampir di tubuh kita, dan imunitas tubuh sudah mencatat semuanya untuk membuat penangkalnya.
Sebagai alumni seleksi alam kini ujian semakin berat, namun kita tidak sendiri. Semua sedang menjalani, namun dengan tingkat kesiapan yang berbeda-beda. Bagi kita yang adaptif dan mampu, setidaknya bisa membantu yang kurang siap dan tidak mampu, karena manusia adalah mahluk sosial.Â
Meskipun ada juga manusia yang berkarakter homo homini lupus, yakni bisa menjadi pemangsa sesamanya. Tidak dipungkiri, tetap ada, dari mului nimbun masker, sembako, sampai nilep dana bantuan. Bisa juga membunuh dengan pemberitaan bohong, intimidasi, yang secara psikologis bisa menurunkan imun tubuh seseorang.Â
Siapkah kita untuk  seleksi alam? siap tidak siap harus segera berubah atau kita menjadi neanderthal yang punah. Tunjukan kita mahluk yang memiliki akal budi. Gunakan akal kita agar menjadi manusia yang cerdik, dan jangan tinggalkan budi kita untuk sesama kita. Selamat menempuh ujian seleksi alam dan semoga lulus dan menjadi manusia dengan variasi baru serta menjadi produk evolusi. Selamat berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H