"Dulu saya tinggal di Gua ini 3-4 tahun secara bergantian, untuk menjaga sarang walet. Di sini terkenal banyak sarangnya, bahkan dulu kalau panen bisa sampai 4 pikul atau 2 kwintal. Kami banyak uang dulu dari mencari walet, tapi kami juga bingung uang itu untuk apa, kaerna kami tinggal di sini. Akhirnya uang itu lama-lama habis untuk keperluan kami selama menjaga tempat ini".
Tatapannya nanar melihat dinding-dinding gua dan seolah membawa dia kembali ke masa lalu, dimana waktunya dihabiskan menjadi manusia gua. Jejak-jejak masa lalu masih terlihat di sini, ada arang bekas tungku, bambu bekas gubug kecil, batu baterey untuk senter, coretan di dinding. Mulut Gua gedang menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu dan kekelaman nasib penjaga gua.
Beruntunglah saya, dan langsun bisa bisa masuk. Di dalam ada Mas Andi yang sudah sedia dengan buku primbon gua dan laser distonya. Dia ahlinya tukang gambar gua.
Di belakang saya ada Mas Sigit dengan cetok kecil punya tukang bangunan tergenggam erat di tangganya. Dia adalah seorang arkeolog yang ahli tentang sejarah peninggalan masa lalu, tetapi bukan batu baterey dan bambu yang tadi.
Di dalam gua, saya melihat sebuah chamber atau ruangan yang luas, bulat, dan tinggi. Lebarnya sekitar 14 - 20 meter dan tingginya 16 meter. Seperti kubah di dalam tanah. Kelewawar gua yang merasa terusik dengan kedatangan kami terbang tak beraturan namun tidak saling bertabrakan.
Di pinggir gua terdengan tetesan air, dan saya mencari dimana letaknya sebab pasti ada stalagtit dan stalagmit. Benar saja, nampak dua buah kreasi alam berusia ribuan tahun itu. Ingin rasanya membelai, tetapi itu pantangan buat kami. Kami tidak ingin merusak kreasi alam ini yang masih berproses.
Pemetaan gua dan pencarian benda purbakala usai. Saatnya kami berkemas pulang. Saat hendap perjalanan pulang acapkali kami dihadapkan pada pilihan, mau mencari jalan lain atau jalan semula.
Tujuan kami adalah eksplorasi, dan biasanya pilihan pertama. Benar saja Pak Irawan paham akan kemauan kami. Berjalanlah beliau di depan. Kakinya nampak lincah berjalan di sela-sela tonjolan batu, sedangkan kami harus meraba.
Kami istirahat di lereng tebing. Di samping kami menyembul kanopi pohon alias pucuk pohon. artinya di bawah ada batang pohon yang menjulang, bisa dihitung berapa tingginya. Kami membuka bekal makan siang kami. Bersandar di sebuah batang pohon dan segan melihat ke bawah daripada mutah.
Oke kita turun pake tali. "Kita repling mas" kata mas Andi. Pengalaman pertama bagi Mas Sigit. Jangkar pengaman kami buat, dan mas Andi turun pertama sembari membuat jalur. Saya orang terakhir yang nanti akan membersihkan peralatan untuk dibawa turun.
Awalnya cukup merinding juga. Bagaimana tidak, ternyata tempat istirahat kami adalah hanging atau menggantung. Bayangkan kalau runtuh. Maka kami sembari makan sembil mengenakan perlengkapan safety.
Akhirnya saya menjadi orang terakhir yang turun. Dan sampai bawah terlihat Cu PE Tong demikian kami memanggil guide kami sedang makan siang dengan lahap.