Cerita yang berkembang, di bagian hulu sungai banyak penambang yang mencari emas. Sungai yang keruh dan berwarna kuning menjadi indikator adanya aktivitas penambangan, karena ada lumpur yang ikut terlarut saat pencucian batuan.
Mas Andi rekan saya duduk terdiam di hamparan pohon-pohon yang telah tumbang. Matanya terlihat nanar melihat kerusakan hutan akibat pembukaan lahan. Sangat kontras sekali dengan hutan disekitarnya yang masih nampak hijau lebat.
"Wadoooh orang manggis ini" kata Pak Tola saat melihat hamparan hutan yang telah gundul. Lantas saya bertanya, memangnya kenapa pak dengan Orang Manggis.Â
"Mereka terpaksa membuka lahan di hutan, karena sawah mereka sudah tidak ada lagi karena didonfeng (dikeruk untuk tambang emas). Mereka kini menanam padi lahan kering, dan begini jadinya" sambil menunjuk hutan yang sudah kering kerontang.
Akhirnya kami sampai di tepi sungai Kemlako kecil yang airnya jernih. Mungkin ini satu-satunya sungai yang saya temui yang airnya masih jernih. Muka saya yang kepanasan segera saya guyur dan kaki yang kelelahan ini saya rendan.
"Ayo guyur, manggis 1 jam lagi sampai" kaya pak Rusli dan pak Tola sudah jauh di depan. Bergegas kami berjalan menyusuri sungai. Memasuki Dusun Manggis, benar saja terlihat bebatuan hasil galian di sana-sini.Â
Terlihat petak-petak bekas sawah yang kini seperti planet mars, penuh dengan batuan dan kering. Inilah salah satu kutukan kekayaan alam ini  yang bisa menghancurkan sumber kehidupan.
Wajah asing kami menjadi pusat perhatian warga. Yang membuat kami tenang adalah mereka semua mengenali wajah dan hormat pada pak Tola. Mereka juga kenal dengan pak Rusli dan Roby, sehingga amanlah kita.
Pak Tola yang suka bercanda mengajak kita berkenalan dengan orang-orang di kampung. Saya sepertinya tidak mau melewatkan momen menarik ini.Â
Ada beberapa mereka yang menolak saya bidik dengan kamera. Ada juga mereka yang curiga terhadap kami, namun pak Tola meyakinkan meraka dengan berkata "tidak apa-apa, mereka utusannya Jokowi".