Di depan pak Tola dan Rusli berjalan dan kadang hanya terdengar mereka berbincang dan tertawa. Kami tertinggal jauh di belakang, sedangkan Roby dipastikan menjadi orang terakhir dari kami.
Langkah kaki kami yang secara usia jauh lebih mudah tak semudah orang tua yang ada di depan dalam memijakan kaki menembus bukit di jalan setapak. Akhirnya mereka paham juga jika nafas kami hampir putus dan mereka melonggarkan kabel gasnya untuk berjalan pelan.
Mereka berdua sepertinya tidak memiliki raut muka lelah. Bagimana tidak, kami berjalan dengan satu dua nafas, mereka berjalan sembari tertawa dan asap rokok mengepul dari mulutnya. Kebiasaan kami mendaki gunung dan lari pagi, sepertinya belum bisa mengimbangi mereka berjalan kaki di tengan rimba raya.
Sebuah tanjakan yang cukup terjal berhasil kami lalui. "Ini peradun Murau namanya mas" kata pak Tola. "Peradun itu artinya tempat istirahat dan murai itu nama kayu, karena ditemukan di sini" pak Rusli menimpali. Akhirnya kami satu persatu sampai juga di tempat datar ini dan tepat pukul 10.45.
"Ayo guyur.. guyur.." kata Pak Tola, yang artinya ayo jalan. Belum darah ini mengering, karena saat istirahat kami mencabuti lintah yang sedang asyik menghisap darah kami harus segera berjalan. Langkah kaki semakin pendek, manakala pak Rusli mengatakan masih ada 4 bukit lagi.
"Mas setinggi-tingginya bukit, kalau kita daki pasti akan tetapi di bawah kaki kito" kata pak Tola memberi semangat pada kami.Â
Rekan kami mas Sigit yang nampak sudah gentayangan "Iya pak kalau di daki, kalau dilihat dari ini ya tetap di atas kepala kita pak". "hahaha ayo guyur" kata pak Rusli dan kami segera mengikutinya, sebab berhenti artinya memberi makan lintah.
Makan yang sangat nikmat, karena hawa yang sejuk dari kanopi hutan hujan tropis yang melindungi kami. Suhu udara sekitar 25C dan kelembapan sekitar 80% membuat lingkungan yang nyaman. Jika tidak banyak lintah pasti kami sudah tertidur nyenyak di sini.
Kembali kami berjalan, dan akhirnya satu jam kemudian kami sampai di Peradun Taye, taye adalah nama mangga hutan/pakel. Di tempat ini kami beriistirahat agak lama, karena habis tempat ini akan melewati jalan eskavator yang panjang.
Mungkin cerita nenek Siti Maryam menunjukan mengapa mereka pergi ke hulu, karena emas. Menurut cerita pak Tola, dalam sebulan Manggis bisa menghasilkan sampai 1 - 2 kg emas. Kekayaan alam yang nantinya menjadi kutukan.
Tidak diketahui dengan pasti siapa yang berani menerobos kawasan hutan lindung ini dengan eskavator. Yang pasti, jejak jalan eskavator ini masih ada dan terbuka.Â