"Ayo mas, sebentar lagi sampai, tapi ada 3 tantangan yang harus dilewati" teriak Pak Aji. Perasaan saya tidak begitu enak mendengar kalimat akhir. Benar saja, sebuah jeram ada di depan mata kami. Pilihannya 3, yakni; balik kanan, melipir memanjat dinding gua, atau berenang. Opsi pertama dan kedua saya tidak sanggup, karena badan sudah gemetar. Akhirnya saya memilih basah kuyup saja. Berenang dengan menggunakan wearpak, mengenakan helm dan sepatu boot, bayangkan sendiri bagaimana sengsaranya.
"Itu baru renang 7 meter mas, sekarang tantangan kedua, kali ini renang 40-50 meter mas..!". Kali ini saya sudah kepalang tanggung dan saling tatap dengan Mas Andi, dan Joki. Pak Aji sudah menyebrang terlebih dahulu, sepertinya sudah sampai di tepi dan terlihat lampu kepala yang sudah digoyang-goyang. Joki menyusuk kemudian dan lalu saya. "Mas tunggu saya mas" teriak mas Andi, sepertinya dia juga mulai keder juga berenang di posisi orang terakhir. Mungkin jika tanpa sepatu boot akan terasa lebih ringan, namun membawa saat berenang juga sama susahnya.
Untuk mempercepat pengukuran kami mengukur dengan jarak panjang, karena lorongnya lurus. Antar kami berjarak sekitar 30-50 meter. Saya menjadi penjuru untuk acuan pengukuran, Joki survey jalur dan Pak Aji mencari titik pengukuran yang baru di depan saya.
"Ayo mas ini tantangan terakhir" kata Pak Aji. Sebuh kolam dengan diameter sekitar 10 meter dan air terjun yang deras. "Pilih sendiri, mau melipir atau berenang ?" tanya pak Aji. Kami memutuskan untuk melipir dan kali ini saya menjadi orang terakhir. Saat Joki sudah sampi di seberang, pak Aji hampir sampai, dan Mas Andi baru sampai tengah.
Pelan-pelan saya mengikuti jejak mas Andi. Saat di posisi yang sulit mas Andi macet namun dapat pijakan dan pegangan yang enak. Saya berpijak hanya pada ujung sepatu dan jari hanya ibu jari, telunjuk dan jari tengah yang bisa mencengkeram. Tepat di depan saya ada kotoran binatang dan saya tanta pada mas Andi, "itu kotoran ular piton mas" jawab mas Andi.
Arghhh... byurrr... saya terhempas di air terjun. Reflek kaki dan tangan saya segera bergerak untul naik ke permukaan dan dengan gaya katak saya mencoba meraih tepian kolam. Saat yang lain kering badanya, saya kembali basah kuyup. Sampailah pada pintu keluar.
Pukul 18.00 kami kembali melihat langit dan selama 8 jam kami hanya melihat dinding dan kegelapan abadi. Nasi bungkus yang kami bawa, sudah jadi nasi penyet dan sangat terasa nikmat petang itu. Namun perjalanan kami belum berakhir. Dinding mendekati vertikal yang dihuni lintah harus kami panjat setinggi 100 m untuk kembali ke Dusun Jangkar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H