Penonton karnaval nampak tertawa terpingkal manakala ada tentara yang gagal melepaskan tembakannya gegara pematiknya mati tidak berfungsi, meskipun sudah coba berkali-kali. Ada juga yang histeris manakala pedagang pakaian, sayur, dan buah melemparkan barang dagangannya ke arah penonton. Secara special, walikota mendapat kerupuk berukuran satu kantong besar. Sisi lain ada yang mengernyitkan dahu saat ada etnis Papua sedang membusurkan panahnya kepada etnis Sumba yang sigap dengan parangnya. Salatiga, kota kecil di pinggang Gunung Merbabu kembali menghibur wargannya dalam karnaval budaya.
Mungkin saja ini hari minggu, sehingga pasukan oranye tersebut libur. Bisa saja, guman saya sambil melanjutkan lari paginya. Siang yang terik kembali saya melangkahkan kaki, dan daun-daun kering masih banyak yang bertebaran dan sepertinya hari ini memang tidak dibersihkan, ada apa gerangan?
Seolah saya tidak mempercayai ada 50 kelompok untuk sebuah kota kecil dengan 4 kecamatan, berbeda jika itu di Kabupaten Semarang atau Provinsi. Saya baru tersadar jika kelompok tersebut dari beragam instansi, sekolah, kelurahan, komunitas, bahkan RT dan RW juga ikut berpartisipasi. Tidak terbayangkan buka, sekelas RT atau RW bisa mengkoordinir warganya menjadi peserta karnaval.
Sebagai ungkapan syukur pedagang yang telah diberikan tempat untuk mencari nafkah mereka membawa beragam barang dagangan dalam karnaval ini. Uniknya, secara spontanitas mereka membagikan apa yang mereka bawa pada penonton. Tidak urung, terjadilah pergulatan dalam memerebutkan barang yang diberikan para pedagang.
Saya teringat akan suku Badui yang ada di Banten. Secara rutin, setiap tahun mereka memberikan seserahan kepada pejabatnya. Mungkin tempo dulu itu yang namanya upeti yang tanpa dipaksakan. Saat ini upeti mungkin dalam bentuk retribusi, tetapi tidak ada salahnya rakyat memberikan sesuatu kepada pemimpinnya. Satu kantong plastik berukuran yang berisikan kerupuk diberikan kepada walikota dari para pedagang kerupuk, ada juga yang meberikan sayuran, makanan/jajan pasar. Meskipun hanya karnaval, kapan lagi mereka bisa memberikan kepada pimpinannya secara langsung dan diterima lalu dinikmati, rasa yang berbeda tentu saja.
Persiapan yang matang tidak jaminan akan sukses menampilkan atraksi. Kejadian tersebut terjadi saat rombongan tentara dari Dusun Klumpit menampilkan atraksinya yakni dengan mercon berbahan bakar alkohol. Ledakan yang dihasilkan dari semprotan spiritus yang dinyalakan dengan pematik api akan menimbulkan suara yang menggelegar. Mercon ini relative lebih aman dibanding dengan yang berbahan bakar minyak tanah atau karbit. Entah grogi atau bagaimana, tentara jadi-jadian ini beberapa kali gagal meletuskan meriamnya. Sorak penonton membuncah dengan gelak tawa. Tentara yang gagal sepertinya menikmati kegagalannya dengan tertawa. Begitu mereka berlalu baru terdengar "jegleeeer" momennya lewat.