Krompyang...!!! terdengar suara nyaring piring yang berbenturan dengan sendok. Terlihat sosok bersisik, berekor panjang, lindah menjulur, dan cakar yang panjang.Â
Seekor biawak besar merangsek naik ke meja makan untuk ikut bergabung menikmati sarapan bersama para tetamu yang sedang menikmati nasi hangat, telur dadar, dan barakuda goreng. Pagi yang indah di Pulau Biawak, dimana manusia dan biawak berinteraksi dalam harmoni, walau acapkali reptil ini bertingkah nakal.
Pagi menjelang pukul 03.00 kami sudah berada di kawasan nelayan di Karangsong-Indramayu, Jawa Barat. Sebuah kapal nelayan dengan 3 mesin berkekuatan 24 PK akan menyebrangkan kami dari Pulau Jawa ke Pualu Biawak. Jaket pelampung kami kenakan dan sebuah mesin dinyalakan oleh kapten Durohman. Perlahan perahu membelah kanal sungai Cimanuk Lawas yang di tepian kirinya nampak rimbun hutan bakau Karangsong.
Satu hari sebelumnya gelombang diperkirakan 0,5 -- 1 m, tetapi hari ini diperkiran tinggi gelombang mencapai 1,5 m. Benar saja, begitu sudah masuk laut lepas, gelombang laut mulau menghempas kapal.
Saya teringat 1 bulan yang lalu saat gagal menyeberang ke Pulau Biawak karena saat sampai tengah jalan, as kapal patah. Hampir 7 jam kami terombang-ambing tidak jelas , yang akhirnya dievakuasi oleh tug boat milik Pertamina. Total 15 jam kami mengarungi laut jawa dan pulang dengan kegagalan, dengan 10 kali muntah di laut. Rasa trauma masih terngiang-ngiang pagi ini manakala harus mengulang ekspedisi ini.
Mas Jon adalah pegawai dinas perhubungan yang ditugaskan menjaga mercusuar bersama 2 rekannya yakni, Pak Wahyu 37 th dan Pak Sakari 45 th, Mereka ditugaskan oleh kantor untuk tinggal di pulau ini selama 3 bulan baru digantikan oleh petugas lain.. Kegiatan mereka setiap hari adalah memastikan mercusuar tetap menyala pada malam hari, menyelaka listrik, melaporkan kondisi cuaca dengan radio HT, dan membersihkan pulau,
Di bawah pohon jamblang berdiri sebuah meja lengkap dengan kursi. Sembari menikmati teh yang diseduh dengan gula batu kami ngobrol sembari melepas penat setelah 4 jam berlayar. Mas Jon bercerita tentang kisah pulau Biawak ini.Â
Awalnya pulau ini bernama Pulau Rakit, kemudian diganti menjadi Pulau Biawak karena banyaknya biawak yang ada di tempat ini. Ada sekitar 20 biawak yang sudah familiar dengan petugas-petugas yang ada dipulau ini sehingga tidak agresif jika bertemu dengan manusia.
Yang lebih menakutkan ada mahasiswa yang membawa beberapa biawak yang masih kecil ke rumahnya. Setelah beberapa minggu orang tua bersama mahassiswa ke Pulau Biawak untuk mengembalikan biawak yang dibawa karena mahasiwa itu menjadi gila. Sekelumit cerita mistis yang dikemas dan menjadi konservasi biawak berbasis kearifan lokal.
Mercusuar setinggi 65 m dengan 16 tingkat dan 233 anak tangga. Sesaat kami berdebat dengan jumlah anak tangga mengapa jumlahnya bisa sedetail itu. Pak Wahyu mengatakan "masing-masing tingkat ada 15 anak tangga, dan tingkat terkahir ada 8 anak tangga, kalau tidak percaya hitung sendiri?". Kami percaya.
Akhirnya sampai juga di puncak mercusuar dan bisa mengelilinginya Seluruh pulau terlihat jelas karena luas pulau yang hanya 120 Ha. Puas menkmati pualu Biawak dari ketinggian saatnya turun yang jauh lebih mengerikan daripada saat naik.
Aneh jika mengunjungi sebuah pulau tanpa melihat dunia bawah airnya. Saat yang ditunggu-tunggu untuk melihat pemandangan yang tidak semua orang bisa nikmati. Perahu perlahan mulau lepaskan tali tambatnya untuk mengantarkan kami menuju sisi barat. Gelombang timur menghepaskan kami yang menyisir sisi selatan pulau. Beberapa kami sudah bertumbangan karena mual dan muntah.
Kami akan mendata karang-karang yang rusak, karang yang masih baik, total tutupan terumbu karang serta ikan-ikan yang hilir mudik. 50 menit kami menenggelamkan diri untuk sesaat mencari tahu apa yang terjadi dengan kondisi terumbu karang di sini.
Kembali tambatan perahu dilepas saat arloji mununjukan pukul 16.00. Kami mengarah ke sisi timur untuk melihat kondisi terumbu karangnya. Kami terpaksa mengurungkan niat, begitu sampai di sisi timur karena gelombang cukup besar dan tidak memungkinkan untuk menyelam dengan alasan keselamatan. Kami memutar haluan menuju sisi selatan dan kondisi gelombang yang juga besar. Kami memutuskan ke sisi barat untuk mencari kondisi yang aman untuk penyelaman.
Saya meluncur sendirian, untuk membuat garis transek. Sebenarnya tindakan saya tidak diperbolehkan dalam penyelaman karena harus ber-buddy/berpasangan. Pada saat itu, kebetulan buddy saya tumbang gegara mabuk laut dan tidak memungkinkan menyelam.
Dalam keheningan bawah laut saya menikmati karang-karang rusak, meskipun beberapa titik ada juga yang bagus. Hampir semua tipe karang adalah karang massif, yakni karang yang merekat kuat seperti karang otak.Â
Ada juga karang yang bercabang seperti Acropora, sedangkan karang lunak tidak begitu banyak. Kondisi jenis karang ini dikarenakan kondosi perairan yang selalu terhempas oleh ombak.
Akhir penyelaman ini disambut oleh golden sunset yang cantik saat senja tiba. Perlahan kami menuju dermaga sembari dituntun oleh mercusuar yang sudah dinyakalan oleh Pak Sakari.Â
Malam ini kami menginap di Pulau Biawak dan berharap biawak-biawak itu tidak ikut tidur disamping kami. Malam pun tiba, dan kekatiran kami pun terjadi, hujan turun lebat, petir menyembar, dan biawak tidur ditempatnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H