Entah bermimpi apa, tidak ada angin, tidak ada badai tetiba arah kami berbelom menuju Lembaga Pemasyarkatan alias penjara. Baru pertama kali ini, kaki saya melangkah masuk di jeruji besi, sebab biasanya hanya melihat tembok keliling yang dihiasi dengan kawat berduri. Wajah-wajah angker membayangi perasaan saya, namun yang terjadi sebaliknya "mari bang coba cicipin masakan penjara".
Pak Hendy, selaku kepala lapas memangil kami untuk menuju kanopi pohon. Sesosok orang yang berbadan tegak, kulit gelap, dan wajah yang galak membuat saya sedikit menjaga jarak. Setelah beberapa kata dia berbicara, ternyata tidak seperti yang saya duga. Dia orangnya jenaka, bahkan nyaris bukan seperti seorang sipir penjara.
Kami diajak memasuki sebuah ruangan  yang berpagar besi. Beker, atau bengkel kerja saya menuju kesana. Di balik terali besi nampak beberapa orang berseragam merah mudah sedang mengerjakan sesuatu. Raut-raut wajah dingin saya rasakan begitu bertatap mata dengan mereka. Seolah kedatangan saya mendapat penolakan dari mereka. Saya menyadari, mungkin mereka tidak nyaman dengan kedatangan kami yang berkunjung untuk melihat para narapidana.
Kami pun beranjak meninggalkan ruangan yang penuh dengan tugu khas Kabupaten Tabalong. Kali ini pegawai Lapas mengajak kami mengunjungi bengkel kerja di seberang lapangan. Suara mesin gergaji, mesin penancap paku, dan gerinda nampak berisik dan memekakan telinga. Bisa saja alat-alat itu menghabisi kami, kembali saya dibawa ke pemikiran seperti di film-film yang bercerita tentang penjara.
Sepintas tidak seperti yang saya kawatirkan. Mereka yang saya asumsikan adalah pelaku-pelaku kriminal tidak seseram itu. Mereka bukan monster yang menakutkan. Sesaat di sudat ruangan saya berbincang dengan salah satu dari mereka. "Sebagian besar dari kami adalah kasus narkoba, kami bukan maling, copet, jambret, tetapi kami terjerumus di jalan yang dilarang oleh hukum. Setiap kesalahan yang kami buat pasti ada alasannya mengapa kami melakukan itu. Mungkin saja kami dari sekian yang sedang apes dan celaka dan harus tinggal di sini. Yang kami mau adalah bisa kembali ke masyarakat, bisa diterima, dan tidak kembali menghukum kami gegara status kami yang mantan napi".
Sejenak saya mendapatkan cerita dari salah satu penghuni lapas. Bahkan kali ini kami sudah bisa bergelak tawa dengan penghuni lapas. "Anggap saja ini reuni" celetuk teman kami, bahkan ada yang berseloroh "he kamu angkatan berapa dan lulus kapan..?" Tidak seseram dengan apa yang saya bayangkan.
Kunjungan terakhir saya adalah dapur milik Lapas. Saya pernah membaca buku dari catatan Arswendo Atmowiloto saat dia tinggal di Lapas. Dia bercerita tentang menu masakan yang dibuat oleh koki-koki penjara. Dalam ceritanya semua bisa dimasak, bahkan ada bagian cerita jika Arswenda tidak lagi menemukan tikus-tikus berkeliaran. Sontak saya terbelalak dengan beberapa kucing yang berkeliaran di dapur dan hanya berguman "jangan-jangan".
Pantas saja Sumanto, yang terkenal dengan pemakan manusia enggal meninggalkan Lapas saat dinyatakan bebas. Dia memilih tinggal di Lapas karena makan gratis, bisa kumpul-kumpul, dan semua teratur. Saya mengisahkan sisi lain dari Lapas di saat beberapa waktu yang lalu banyak narapidaka yang kabur melarikan diri. Ada kalanya mereka betah di penjara ada juga yang ingin lari dari penjara, yang pasti jangan sekali-kali masuk penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H