Wajah kami berbinar manakala ada seorang pemuda berbadan tegap menghampiri kami. "Mas saya Fendi, yang jadi porter mas. Maaf cuma saya sendiri, sebab yang lain tidak adak. Saya lihat dulu barangnya seberapa ya?". Sesaat dia mengukur ransel kami, sebab porter tidak mau membawa jika bebannya melebihi 25 kg. Dia mengagguk dan menyanggupi menemani kami mendaki. Saya juga ikut tersenyum, walau senyum kecut karena ransel yang berukuran sama harus saya gendong.
Pukul sembilan pagi itu kami mulai berjalan menyusuri jalan setapai menuju Plawangan sembalun. Langkih kecil kami yang tidak terbiasa dengan medan pegunung harus menyesuaikan dulu dengan narfas yang mulai ngos-ngosan. Fendi sudah tidak terlihat usai kami sampai di Pos 1. Dia mengatakan akan menunggu di Pos 3. Saya mencoba mengejar, namun langkah kaki saya masih kalah jauh dengan kekuatan kakinya. Selepas tengah hari barus saya sampai di Pos 3.
Belum sempat nafas ini reda menderu, dia kembali menngendong ransel untuk langsung menuju Plawangan Sembalun. Kesempatan saya untuk mencoba lutut ini masih mampu atau tidak. Dengan nafas tersengal-sengal mencoba mengekor putra rinjani ini walau harus tertatih-tatih. Pukul 16.30 akhirnya saya merebahkan diri di rumput di Plawangan Sembalun. Tidak terlihat dimana sosok yang nyaris tidak punya rasa lelah.
Dari kejauhan nampak dia menenteng 3 botol air mineral berukuran besar. Dia baru saja pulang dari mata air untuk mengambil air. Pelan-pelan saya mencoba membangun tenda, namun segera dicegah Fendi. "Mas ini tugas saya, mas istirahat saja", katanya lantas saya menimpali "yang mendaki saya, dan kamu membantu saya, nah sekarang kamu yang istirahat". Malam ini, Fendi nampak gusar dan serba salah. Malam ini dia tidak mendapat peran. kami bertiga bergantian tugas; memaskan, membuat minum, membuah pop corn, bahkan menggoreng ikan. Fendi merasakan, dia merasa aneh sebab biasanya yang menakai jasa mereak tidak seperi ini. Malam larut dan udara semakin dingin. Saya memerhatikan kegundahan Fendi yang serba salah. Saya yakin dia kedinginan, tetapi sungkan. Alhasil pertahanan dan gengsi dia ambruk juga. Yawaran saya untuk tidur di tenda diterima, bahkan dia bilang "mas saya pinjamk kaos kaki, saya tidak tahan dinginnya". Jangankan kaos kaki, sleeping bag juga kita kasih".
Sembari merebahkan badan dia bercerita mengapa memilih menjadi porter. Tidak lain tidak bukan, dengan menjadi porter lebih mudah mendapatkan uang. Dalam satu hari, porter dihargai Rp 200.000,00 dan itu sudah bersih. Uang rokok, makan, dan ojek semua menjadi tanggungan pendaki. Mendaki Rinjani rerata 3 - 5 hari pendakian, sehingga akan mendapatkan Rp 600.000,00 - RP 1.000.000,00. Acapkali ada juga yang memberikan lebih. Dalam satu bulan biasanya jika ramai bisa mendaki 4 - 5 kali. Dengan penghasilan sebesar itu, mereka memilih porter daripada bertani.
Saat ini usianya sudah 25 tahun, memiliki anak laki-laki berusia 4 tahun. Luka-luka di pundaknya menjadi bukti bagaimana tanggung jawab kepada anak semata wayangnnya dan seorang istri. Beban 25 km selalu melekat di pundak, kakinya terus melangkah tanpa mengenal lelah adalah kesehariannya. Beberapa kesempatan dalam perjalanan dia minta diajari ngomong bahasa Inggris agar tidak kikuk saat ada tamu bule.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H