Saya teringat anekdot cerita lama tentang pesan dokter kepada pasiennya yang memiliki kolesterol tinggi. "bapak hanya boleh makan daging yang hewannya dari air, semua hewan di darat tidak boleh dimakan" kata dokter. Setelah sekian lama, pasien ini periksa kepada dokter dan hasilnya, kolesterol tetap tinggi. Lantas dokter bertanya "bapak makan daging apa..?", "kerbau rawa dok" jawab pasien. Kerbau rawa, sebuah evolusi singkat binatang terestrial menjadi binatang afimbi.
Selama ini sosok kerbau adalah binatang piaraan yang biasa digunakan untuk membajak sawah. Di Toraja, kerbau atau disebut tedong adalah binatang piaraan yang sangat mahal, karena peruntukan untuk upacara adat. Di daerah Kudus-Jawa Tengah, kerbau biasa dikonsumsi sebagai daging. Orang-orang di sana tidak makan daging sapi, karena mereka dahulu adalah pemeluk hindu yang kemudian beralih islam, tetapi masih memegang kebudayaan leluhurnya.
Kerbau rawa adalah salah satu kerbau yang unik. Kerbau ini sebagian besar waktunya dihabiskan di rawa dengan berenang untuk mencari makan. Secara umum, kerbau memiliki nama ilmiah Bubalus bubalis. Secara spesifik kerbai dibagi menjadi 3 yakni Kerbau liar (B. bubalis arnee), Kerbau sungai (B. bubalis bubalis) dan Kerbau rawa (B. bubalis carabauesis).
Kerbau rawa ada di beberapa tempat di Indonesia, salah satunya di Danau Panggang-Kalimantan Selatan. Kerbau yang awalnya adalah hewan liar yang didomestifikasi menjadi binatang piaraan secera evolusi akan berubah prilakunya. Perubahan habitat dari terestrial menjadi semua aquatik membuat kerbau kembali berevolusi yakni kemampuan berenang jarak jauh. Kerbau rawa adalah salah satunya yang sudah mengalami evolusi karena perbedaan habitat dari daratan menjadi perairan.
Pukul 05.00 kami sampai di Dermaga Danau Panggang. Sembari menunggu speed boat kami melihat keramaian pagi di Dermaga ini saat para pekerja sedang menurunkan muatan berupa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku tikar dan kerajinan. Di dermaga ini adalah salah satu pusat bisnis dan mobilitas warga yang tinggal di daratan dan di rawa-rawa (rumah apung).
Dengan kecepatan hampir 50 km/jam speed boat melibas danau yang terbelah oleh aliran air. Sisi kanan jalan speed boat nampak rumah-rumah apung milik penduduk yang memilih tinggal di atas air. Hamparan eceng gondok (Eichornia crassipes) memenuhi permukaan danau mirip dengan padang rumput terapung. Dari kejauhan nampak samar-samar gerombolan kerbau yang berjejalan di atas kandang.
Speed boat merapat di sebuah kandang. Tak berselang lama, nampak Pak Jawat bersama anaknya datang bersama anaknya dengan mengendarai jukung. Dengan sigap Gembala ini masuk dan berjalan di sela-sela kerbau yang berdesakan. Suara lenguhan kerbau terdengar bersahut-sahutan, entah mereka lapar atau sudah tidak sabar ingin berenang.
Pintu palang kayu dibuka. Kerbau barisan depan langsung turun menuju jalan kecil lalu "byuurr" menyeburkan diri dalam danau dan diikuti kerbau-kerbau yang lain. Kepala kerbau dan tanduknya nampak nongol di permukaan, sedang badannya terendam dalam air. Mereka membentuk satu barisan, sepertinya yang paling depan adalah pimpinan dari kerbau. Mereka perlahan berenang menuju sisi timur, yang konon katanya sejauh 4 km untuk mencari rumput rawa.
Pak Jawat belum selesai, masih ada kerbau yang belum dikeluarkan yakni mereka yang diletakan di kandang khusus. Ini adalah kerbau-kerbau yang masih bunting, sehingga harus di sendirikan. Sepertinya kerbau juga memiliki perlakuan khusus. Kerbau yang bunting ini nantinya akan di letakan dibarisan paling belakang agar tidak kelelahan.
Beberapa kali Pak Jawat berteriak untuk memaksa kerbau turun ke air. Kerbau-kerbau bandel ini sepertinya enggan turun ke air. Entah mereka takut dingin atau tidak bisa berenang. Pak Jawat menjelaskan jika semua kerbau bisa berenang secara alami, tetapi kekuatanya beda-beda. Ternyata yang dimaksud kerbau pemalas ini adalah kerbau yang masih anak-anak.
4 jam kerbau rawa ini akan berenang menuju tempat untuk mencari makan. Mereka diberi kesempatan 3 jam untuk makan sepuasnya, dan setelah itu 4 jam perjalanan pulang menuju kandang. Hampir 11 jam kerbau ini berada di perairan, dan menjelang senja sudah kembali ke Kandang. Yang menarik, rombongan kerbau ini tidak tersesat dan mereka tidak salah kandang.
Kerbau atau hewan jenis lain memiliki kemampuan navigasi yang disebut dengan ekolokasi. Mereka mampu mengenali lingkungan mereka yang akan memandu perjalanan mereka menuju tempat tujuan dan kembali ke tempat asal. Naluri ini terasah secara alamiah karena kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Ekolokasi sangat menguntungkan gembala, karena mereka tidak perlu susah-susah menjadi pemandu untuk menggiring mereka. Pemandu hanya bertugas membuka pintu, memaksa kerbau turun ke air, memastikan tidak ada yang terpencar, lalu menuju lokasi makan kerbau, dan nanti menutup pintu kandang saat semua kerbau sudah masuk di kandang.
Satu kandang kerbau akan disekat menjadi 4 blog dan masing-masing akan diisi 20 ekor. Dalam satu kandang akan ada 80 - 100 ekor karbau. Kerbau rawa memiliki ciri yang sama, berbeda dengan sapi yang bisa dibedakan dengan belang-belangnya. Untuk menandai kepemilikan kerbau, pemilik atau pawangnya akan memberi tanda pada kerbau. Tanda akan dibuat dengan menggunting daun telinga dengan pola tertentu yang menjadi penciri khas kepemilikan kerbau. Bisa dibayangkan di Danau Panggang ini ada 150 kandang dengan total kerbau sekitar 1.500 ekor dan semua kerbau turun di tempat yang sama. Hebatnya gembala kerbau sudah hafal tanda-tanda di telinga kerbau ini milik siapa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI