Seolah saya tidak percaya dengan gambar di tubuh mobil kabin ganda yang sedang diparkir. Di pintu kabin belakang ada sebuah tulisan "Powered by Jelantah Biodiesel".  Sepertinya mustahil bagi orang awam seperti saya, "masa mobil mahal seperti ini bahan bakarnya dari bekas gorengan". Rasa penasaran saya tuntas manakala saya diajak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana jelantah diubah menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan.
Jelantah secara harafiah bisa diartikan sebagai minyak sisa dari proses penggorengan. Mungkin saat ini jelantah akan semakin bertambah banyak seiring dengan kampanye sehat berkaitan minyak tidak boleh dipakai menggoreng berkali-kali. Potensi minyak menjadi karsinogenik sangat besar jika dipakai secara berulang. Akibat dari pamanfaatan minyak model ini maka produksi jelantah akan meningkat. Dalam skala rumah tangga, jelantah akan langsung dilepas dalam saluran pembuangan dan tidak menjadi permasalahan yang begitu besar bagi lingkungan. Bagaimana dengan usaha rumah makan, restoran, katering yang dalam sehari menggunakan minyak dalam jumlah besar. Jika jelantah dalam skala besar dilepas ke lingkungan secara bersamaan, maka akan menjadi pencemar lingkungan.
Tidak banyak solusi yang ditawarkan dalam pengolahan jelantah. Secara alami, lingkungan akan mendegradasi itupun dengan jumlah yang terbatas dan masih dalam ambang daya dukung lingkungan. Salah satu solusi mengatasi limbah jelantah adalah mengolahnya kembali menjadi bahan bakar kendaraan bermotor. Secara ekonomis akan diuntungkan, karena berupa limbah makan bisa diperoleh secara cuma-cuma, dan yang pasti lingkungan akan selamat dari pencemaran.
Untuk jelantah secara prinsip bisa diubah menjadi biodiesel. Jika melihat reaksi kimia dan reaktor dalam pabriknya akan terlihat rumit karena banyak tangki, pipa, pompa dan lain sebagainya. Jika dipahami, sebenarnya pembuatan biodiesel sangat mudah dan murah meriah. Prinsp pengolahan jelantah menjadi biodiesel adalah transesterifikasi.
Tidak hanya jelantah yang bisa diproses menjadi biodiesel dalam reaktor ini. Sejumlah minyak nabati seperti sawit, jarak, dan pongamea juga bisa dikonversi menjadi bahan bakar nabati untuk kendaraan bermesin disel. Saat ini yang selalu diproduksi adalah jelantah. Alasan utama menggunakan jelantah adalah mudah didapat, gratis, dan ketersediaanya selalu ada setiap hari. Saat ini reaktor biodiesel hanya mampu memroduksi sekitar 1,1 ton atau 1.100 liter biodiesel per harinya. Imbal hasil yang diperoleh dari pengolahan jelantah, adalah 95 - 99% biodiesel dan sisanya gliserin yang nantinya akan diproses lagi.
Menjadi pertanyaan saya selanjutnta adalah bagaimana pengaruhnya dengan mesin kendaraan. Sebagai enjiner, pak Didik menjelaskan jika saat menggunakan jelantah agak berat saat mengangkat gas dan membutuhkan jeda sebentar lalu akan normal kembali. Untuk perawatan mesin, ternyata bahan bakar dari jelantah membuat mesin lebih awet dan tidak ada keluhan dengan mesin, hanya tenaganya saja yang tidak setangguh jika memakai solar. Untuk emisi atau gas buang, polusi karbon monoksida jauh lebih sedikit dibandingkan dengan solar, dan material lain seperti logam berat juga minim dan nyaris tidak ada.
Biodiesel sebenarnya bukan monopoli mereka yang ahli minyak dan kimia dalam pengolahannya. Dengan reaktor yang sederhana bisa dilakukan. Menjadi persoalan adalah bagaimana mengumpulkan jelantah yang tidak hanya dari industri, tetapi juga rumah tangga. Jika jelantah komunal ini bisa ditangani, niscaya cemaran air dan lingkungan dapat diatasi dan secara ekonomis akan memberikan nilai pada jelantah. Menantikan SPBU dengan tulisan solar jelantah atau BBM bekas gorengan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H