Saat saya kecil tinggal di area peternakan babi, ayam, dan sapi perah. Setiap pagi selalu saja tercium arom yang tidak sedap yang berasal dari peternakan yang jaraknya hampir 2 km dari rumah. Para warga sudah lama mengeluhkan aroma tidak sedap ini, tetapi lama-kelamaan akhirnya kami terbiasa. Lain kisahnya saat saya mengunjungi sebuah peternakan sapi di desa Jaro-Kalimantan Selatan. Aroma tak sedap nampak samar, begitu juga dengan kesan kotor dan bau nyaris tidak seperti yang saya bayangkan seperti pada peternakan pada biasanya. Model peternakan NPO (Non Product Output).
Setelah hampir 3 jam perjalanan dari Kabupaten Tabalong-Kalsel, akhirnya kendaraan yang saya tumpangi sampi di sebuah desa yang nampak gemah ripah loh jinawi. Saat itu saya berdiri di Pulau Kalimantan yang identik dengan hutan lebat atau bahkan hamparan sawit atau karet, tetapi yang saya kunjungi mirip dengan perkampungan di Jawa.
Desa Jero demikian nama desa yang saya kunjungi. Jero dari akronim jawane separo atau orang jawanya setengah. Sebagian besar warga desa Jaro adalah pendatang dari Jawa yang kemudian tinggal dan menikah dengan penduduk sekitar baik dari suku Dayak atau pun Banjar. Mereka bukan transmigran, konon orang tua mereka adalah romusha yang didatangkan Jepang sekitar tahun 1942 – 1943 seloroh Widodo selaku kepala desa. Orang tua mereka banyak yang melarikan diri di hutan yang akhirnya menetap di sini.
Kelompok Tani Ternak Lembu Sejati, demikian nama peternakan yang dimiliki desa Jaro. Di depan kandang pak Usnayani menyambut saya lalu mengajak masuk ke dalam kandang. Sebagai sarjana peternakan, dia yang bertanggung jawab mengurus kesehatan hewan ternak hingga membuat bunting sampai lahir. Di sela-sela obrolan kita, ada salah satu peternak yang saat itu sedang memberi makan sapi menyeltuk, “mas itu bapaknya sapi-sapi di sini, yang yang menghamili sapi sampai jadi bidannya” dan kami dibuat tertawa karena dia mengiyakan dan mengakuinya.
Awal berdirinya peternakan ini adalah lewat program CSR perusahaan yang memberikan bantuan beberapa indukan sapi dari proposal yang sudah dikirimkan kelompok tani. Selain memberikan bantuan sapi, juga diberikan pelatihan peternakan dan pengolahan hasil ternak. Beberapa warga juga dikirim di beberapa tempat seperti di Jawa dan Sulawesi untuk mengikuti pelatihan peternakan.
Sampai saat ini jumlah anggota dari kelompok ani ini sebanyak 38 warga denggan total sapi yang dipelihara 182 ekor. Sistem pengelolaanya adalah dengan bagi hasil. Perhitungannya sangat mudah. Jika ada yang hendak memiliki sapi bisa dengan model gadoh dari kelompok tani, yakni saat induk sapi sudah melahirkan maka anak akan dijadikan tebusan jika ukurannya sudah seperti induknya dan membayar Bungan 24%. Ada juga model penggemukan sapi, yakni dengan mengambil sapi lalu digemukan. Hasil penjualan dari penggemukan, 70% pemilik dan kelompok tani 30%. Selama ini tidak ada yang bermasalah dan banyak yang mendapatkan dari sistem pengelolaannya.
Hasil dari pelatihan nampak nyata saaat ini. Dengan bangga pak Usnayani membuka kedua telapak tangannya sambil berkata “disini tidak ada yang terbuang sia-sia”. Dia lalu mengajak saya mesuk dalam sebuah dapur yang persis ada di samping kandang sapi. “Mari mas kita buat kopi” cteeek… tanganya memutar knop kompor gas yang tidak ada tabung gas-nya. Ternyata kompor ini berbahan bakar bio gas dari kotoran sapi. Sembari menunggu air mendidih dia menjelaskan tentang pemanfaatan kotoran sapi menjadi bio gas. Dia juga meyakinkan, jika kandang ini terisi penuh nantinya gas ini akan saya salurkan dari rumah ke rumah.
Usai menjerang kopi, saya diajak melihat bak-bak bertingkat dengan air yang hitam pekat. Dia menunjukan jika ini adalah tampungan urin sapi yang di endapkan secara bertingkat lalu di pompa pada toren yang ada di atas dapur. Sepintas saya tidak memahami tentang bejana berhubungan urin sapi ini. Lalu dia mengeluarkan jeriken kecil bertuliskan “biourine”.