“Selamat datang di Bandar udara internasional” sesaat hening “Sultan Syarif Kasim II” kembali hening “maaf, bandar udara internasional Sultan Mahmud Badaruddin II”. Saya mengernyitkan dahi saat mendengar pengumuman dari awak kabin dari sebuah maskapai pesawat nasional yang menerbangkan saya dari Jakarta menuju Palembang. Seorang pramugari yang hampir setiap hari menyambangi Pekanbaru dan Palembang bisa saja salah sebut, begitu juga dengan saya yang acapkali tidak bisa membedakan jenis gajah asia dan afrika. Kisah salah sebut nama bandara oleh pramugari mengawali perjalanan menuju Kabupaten Banyuasin-Sumatra Selatan untuk menyambangi Pusat Latihan Gajah di Suaka Margasatawa Padang Sugihan.
Tidak terasa 2 jam berlalu dan sampai di sebuah dermaga kecil di Padang Sugihan. Sepintas saya tidak percaya, ini bukan Palembang tetapi Afrika seperti yang biasa saya lihat di kanal televise berbayar yang menayangkan film dokumenter alam liar. Dari dekat saya melihat padang yang luas dan dikejauhan nampak hutan yang lebat, yang menarik adalah kawanan gajah yang berlarian bebas. Gajah Sumatra, salah satu spesies endemik dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus.
Menyusuri sebuah jembatan kayu lalu naik di sebuah panggung, lalu pak Jumiran menunjuk kawanan gajang yang sedang makan di tepi anak sungai Musi dan berkata. “di sana ada 30 ekor gajah, dimana ada 24 gajah dewasa dan 6 yang masih anak-anak. Baru saja ada yang baru lahir 1 ekor. Sasaran ke depan adalah meningkatkan jumlah populasi gajah menjadi 10% di tahun 2019”.
Secara alami gajahi memiliki kemampuan ekolokasi dalam migrasi atau perpindahan tempat. Gajah memiliki jalur khusus yang akan dilewati dalam waktu-waktu tertentu. Gajah juga memiliki wilayah kekuasaan tempat dia mencari makan, tinggal dan kawin. Manusia acapkali masuk dalam wilayah teritori gajah, berada dijalurnya bahkan merubah lansekap wilayah gajah menjadi pemukiman dan perkebunan. Gajah yang merasa terdesak atau kehabisan makanan akan masuk dalam area penduduk. Di situlah konflik manusia dan gajah dimulai.
Sangat susah jika harus berkonfrontasi dengan gajah dan risiko keselamatan menjadi taruhan. Solusi terbaiknya adalah gajah melawan gajah. Beberapa gajah liar ditangkap, lalu dijinakan dan dilatih. Gajah dilatih untuk melakukan apa yang pawang perintahkan. Tujuan awalnya adalah untuk menghadapi gajah-gajah liar yang keluar jalur atau memasuki lahan penduduk. Selain untuk melawan gajah liar, gajah di pusat pelatihan juga dilatih beragam atraksi seperti mengalungkan karangan bunga, mengerek bendera, duduk, main bola. “kami belum behasil melatih gajah untuk menggambar dan menulis seperti di Way Kambas” kata pak Jumiran. Saya hanya berseloroh “kalau bisa jangan dilatih motret dan main komputer ya pak, nanti saya kehilangan pekerjaan”. Gelak tawa, mengakhiri diskusi sembali menikmati air kelapa muda yang disediakan pak Camat Muara Padang dan Sugihan.
Butuh waktu yang lama agar gajah kenal dengan pawangnya. Hampir 10 tahun pak Setiono mengajari Jimy agar mau menuruti perintahnya. Di sini da 40 pawang dan masing-masing mendapat jatah 1 – 2 ekor gajah untuk dipelihara, dirawat dan dilatih. Kami harus sabar dan hati-hati. Gajah sangat pekat terhadap lingkungan sekitarnya dan kami harus selalu waspada. Gajah bisa saja mengamuk saat dia merasa terusik atau sedang memasuki masa birahi.
Dia menuturkan mengapa gajah menjadi pilihan hidupnya dan sepertinya menjadi bagian dari hidupnya. Gajah satu-satunya binatang yang bisa menembus medan apa saja. Lahan gambut dengan ketebalan 2 – 5 m bisa dilalui dengan mudah dengan naik gajah. Gajah juga bisa berenang sejauh 100 – 200 m dan kita tinggal naik di punggungnya. Dengan naik gajah, kita aman akan ancaman binatang liar termasuk gajah liar. Gajah liar tidak mau mendekati gajah jinak, bahkan takut. Gajah jinak sudah memiliki prilaku yang berbeda dengan gajah liar, begitu juga dengan aroma tubuhnya sudah beraroma manusia dan lingkungan barunya.
Tidak terasa sudah jauh saya berjalan menaiki punggung Jimy. Pak Setiono yang asli Ponorogo mengarahkan tunggangnya menuju induk gajah yang sedang mengasuh anaknya. Tetiba anak gajah yang masih mungil lari mengejar Jimy lalu menghadang seolah tidak memperbolehkan pergi. Saya merasakan interaksi gajah dalam komunitasnya. Mungkin apa yang dilakukan gajah mungil ini bagian dari interaksi kawanan gajah yang saling memiliki kedekatan emosional.
Dari ujung sana, Pak Parlan yang menjadi pawang induk gajah dan anaknya berteriak “wadooh maaf itu gajah saya yang nakal dan suka usil” sambil menunjuk gajah yang masih mungil itu. Lantas saya bertanya siapa nama gajah kecil itu. “Belum ada nama untuk 6 gajah yang masih kecil, karena belum ada kesepakatan nama-nama, mungkin suatu saat ada penggede negeri ini yang akan datang ke sini dan memberi nama gajah”. Kata pak Parlan sambil naik Dalung gajah jantan berusia 9 tahun.