Dalam ingatan saya tentang sejarah kota Jakarta yang saya pelajari lewat PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) adalah nama Fatahillah dan Jan Pieterszoon Coen. Dua orang tokoh inilah yang memiliki nama besar di sebuah kota yang saat ini menjadi ibu kota Indonesia. Tahun 1526, Fatahillah yang dikirim oleh kasultanan Demak menyerang pelabuhan Sunda Kelapa dan menguasainya lalu di berinama Jayakarta yang nantinya menjadi Jakarta.Â
93 tahun kemudian tepatnya 1619 J.P Coen menghancurkan Jayakarta dan menggantinya dengan Batavia. Nama Batavia berasal dari kata Batavieren (leluhur bangsa Belanda) dan kini dikenal dengan Betawi. Lamunan saya seketikan sirna manakala seorang ibu dengan logat betawi monyorongkan nasi pecel yang sedari tadi saya pesan.
Suasana kota tua menjelang malam, dimana jalan sudah penuh sesak dengan pengunjung,pedagang dan kemacetan (dok.pri)
Kota Tua, Jakarta memang tak lekang oleh zaman. Dari masa Jayakarta, Batavia, Betawi, hingga Jakarta tetapi memiliki kisah yang menarik untuk di kulik. Sudah beberapa kali saya mengunjungi komplek Kota Tua ini yang oleh Gubernur Jakarta waktu itu oleh Ali Sadikin dijadikan situs bersejarah pada tahun 1972. Saat ini wajah Kota Tua sepertinya tak semuram durja seperti beberapa tahun yang lalu yang nampak kusut, kumuh, dan nyaris tidak tersentuh. Wajah baru kota tua yang kembali muda mengajak saya untuk menyambangi sambil bernostalgia sembari menyaksikan kemolekan noni-noni Belanda.
Pelabuhan Sunda Kelapa menjelang senja (dok.pri)
Malam menjelang usai saya menyambangi Pelabuhan Sunda Kelapa segera beranjak ke Kota Tua. Kaki ini sepertinya ingin melihat bagaimana Pangeran Jayakarta menduduki Pelabuhan dan menguasainya, lalu J.P Coen merebutnya untuk memperluas usaha dagang VOC. Sejarah yang panjang, kelam, tetapi menyimpan banyak kenangan.
Kota tua yang membawa romansa jaman Belanda saat bertemu dengan nonik nonik Belanda (dok.pri).
Tepian jalan yang menuju arah kota tua sudah penuh dengan kemacetan khas ibu kota. Pejalan kaki yang membludak hingga memakan badan jalan, sebab trotoar sudah penuh dengan pedagang dan pembeli yang lesehan. Sejekan kembali mengisi tenaga dengan memesan sepincuk nasi pecel.Â
Saya berharap mendapat sapaan logat Jawa seperti di kampung saya, ternyata suara nyaring seperti yang saya bisa dengarkan saat melihat tayangan lenong. Orang Betawi yang saya kenal berjualan kerak telor, bir pletok, tetiba ada juga yang berjualan pecel dan gudeg. Inilah sebuah akulturasi dan daya adaptif dikerasnya ibu kota.
Halaman museum Fatahillah yang penuh sesak dengan pengunjung (dok.pri).
Kembali kaki melangkah menuju samping museum Fatahillah. Saya sangat senang, sebab pelataran yang luas kini membludak dengan pengunjung, sebab dulu tidak bisa membedakan mana pedagang mana pengunjung. Saat ini sudah ditata, dimana pedagang dilarang berjualan di pelataran museum Fatahillah.Â
Pelataran yang sebenarnya cukup luas, tetapi daya dukung sepertinya tak mencukupi antusiasme warga yang berkunjung. Lapangan yang sangat padat, bahkan tidak nyaman lagi untuk bersantai menikmati kota, sebab terlalu padat pengunjungnya.
Sejenak saya mencoba melipir menuju emperan kafe Batavia yang melegenda. Kembali saya dibuat kecewa, karena tiada kursi yang tersedia dan harus rela gigit cari mencari sela untuk kembali berjalan. Saya mencoba menyusuri lorang-lorang kota tua yang dulu masih nampak lengang, tetapi malam ini nyaris saya seperti terjebak dalam lautan manusia.Â
Terdengar teriakan dari satu duo orang "hati-hati copet, jaga dompet, awas kalau ada yang memepet". Terhenyak kesadaran saya lalu spontan memindah posisi tas punggung menjadi tas dada, dan memindahkan isi saku celana dalam tempat yang aman.
Seniman jalanan yang mempertontonkan aksinya di lorong kota tua (dok.pri)
Sepanjang lorong saya melihat para seniman jalanan mengadu peruntungan. Pertunjukan sulap,
cosplay ala tempo dulu, manekin, tato temporari, hingga panggung-panggung foto. Pertunjukan jalanan ini mengingatkan saya pada beberapa tempat di luar negeri dimana pemerintah menyediakan area jalanan sebagai tempat pertunjukan sekaligus meraup pundi-pundi uang. banyak atraksi yang ditampilkan, dimana pengunjung bisa berfoto bersama lalu memasukan uang dalam kotak yang disediakan.
2 sejoli yang mengakhiri kisah di kota tua (dok.pri)
Akhirnya kaki saya berhenti di sudut lorong yang penuh sesak dengan pengunjung yang hendak keluar dan tertahan di pintu yang sempit. Saya tertahan di tempok yang kusam sembari melihat kelakuan remaja yang menjadikan diri layaknya orang tua. Saya memerhatikan perkelahian remaja putri yang mungkin dengan pacarnya. Seolah saya melihat adegan sinetron yang dilakonkan oleh anak kecil.Â
Perkelahian kata-kata mereka yang terekam dalam telinga saya saat mengatakan "ayah bunda" dan adegan mereka yang tertangkap kamera saya akhirnya berakhir. Ah saya memang sudah tidak muda lagi saat di kota tua ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya