Reno, begitu nama monyet jantan ini diberi nama. Sebuah rantai yang mengikat di lehernya terhubung dengan tangan sang pawang. Dengan beberapa kali hentakan perintah sang pawang membuat reno melakukan beragam atraksi, seperti bersepeda, memakai payung, naim miniatur motor, memakai topeng, bahkan naik egrang.
Reno mungkin siang itu menjadi salah satu artis di perempatan jalan. Karena aksinya, dia diganjar lemparan uang logam dan kertas yang dia pungut dan diserahkan pada sang pawang. Sebuah potret kecil bagaimana interaksi sang pawang dan seekor monyet dalam menyambung hidup yang serba dilematis antara urusan perut dan undang-undang perlindungan hewan.
Sekitar 2 tahun yang lalu di DKI Jakarta sudah mulai digencarkan operasi penyertaan hewan dalam pertunjukan. Topeng monyet yang sudah dikenal lama di kalangan masyarakat ramai-ramai diburu dalam rangka menyelama hewan liar ini. Ada dasar hukumnya dalam rangka mengembalikan hewan liar yang sudah dijinakkan ini ke habitatnya.
Di habitat aslinya, kera ekor panjang hidup dalam sebuah koloni yakni antara 5-40 ekor. Ada seekor pemimpin kelompok, beberapa pejantan dan selebihnya betina dan anak-anak. Kera ini termasuk satwa yang cerdas karena mudahya beradaptasi dengan lingkungan yang baru termasuk dengan manusia.
Mudahnya adaptasi inilah yang membuat mereka berpotensi untuk dilatih. Di daerah Sumatera atau Sulawesi, kera ini ditangkap dan dilatih untuk membantu memetik kelapa, namun di sisi lain mereka menjadi artis topeng monyet.
Monyet akan dikondisikan lapar dengan cara digantung dengan posisi kaki menginjak tanah. Tujuan latihan ini adalah membuat monyet bisa berdiri dan berjalan dengan kedua kakinya.
Proses pelaparan dimaksudkan agar monyet mau mengikuti perintah. Agar monyet patuh dengan pawang biasanya kepalanya akan dipukul dengan lidi sebagai perintah atau hukuman. Jika monyet sudah menurut baru akan diisi materi pelatihan-pelatihan yang hasilnya seperti dalam pertunjukan topeng monyet.
Sadis memang jika melihat perlakuan satwa ini dalam pelatihan dan pertunjukan. Para pecinta satwa seolah gusar melihat hewan yang seharusnya di alam liar, tetiba harus menjalani hidup dan rutinitas bersama manusia.
Peraturan perlindungan hewan sudah dikeluarkan dalam rangka melindungi satwa. Salah satu dasar hukumnya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) No 302 yang mengatur tentang tindakan penyiksaan hewan. Selain itu, ada pula Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Pasal 66 Ayat 2g “Bahwa hewan harus dihindari dari tindak penganiayaan dan penyalahgunaan”.
Peraturan di atas tidak hanya bagi monyet saja, tetapi bagi seluruh hewan yang dipelihara. Undang-undang dengan jelas mengatur bagiamana memeliharan dan memerlakukan hewan peliharaan.
Hewan harus mendapat kesejahteraan satwa yang meliputi hak untuk hidup bebas, hak bebas dari penyakit, dan sebagainya. Begitu juga perlindungan terhadap manusia yang bisa tertular penyakit oleh hewan seperti rabies, pes, flu burung, toxoplasma dan lain sebagainya.
Mungkin di DKI Jakarta sudah tidak ada kera ekor panjang yang memakai topeng, namun di beberapa tempat mereka masih mudah ditemui saat mengais-ngais rupiah. Masyarakat perlu di edukasi bagaimana melihat fakta ini, begitu juga dengan para pawang yang harus mendapatkan pengganti sumber nafkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H