"Keindahan alammu yang memesona
Sungaimu yang deras mengalirkan emas, Syo....
Ya Tuhan.. Trima..kasih."
Tiga baris lirik lagu Tanah Papua tersebut membuat saya membuncahkan emosi bahkan menumpahkan air mata. Bagaimana tidak lagu tersebut saya putar dan dengarkan saat di Danau Habema seraya melihat Puncak Mandala dengan salju abadinya dan saat menyeberang menuju Waisai-Raja Ampat. Berkali-kali saya bersenandika, "Syo Tuhan terima kasih, sudah membawa saya ke tempat dimana tetesan surga itu jatuh di Bumi".
Sejarah sangat panjang jika berbicara tentang Papua, tak hanya ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu ada cerita tentang pulau paling timur Indonesia. Sejak zaman pangea saat bumi ini hanya ada beberapa daratan besar, Papua sebagian adalah dasar lautan. Akibat desakan oleh aktivitas vulkanik dan tektonik, dasar lautan terdesak dan menyembul keluar menjadi daratan bahkan menjadi titik tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 4.484 mdpl. Dahulu Papua dan Australia masih satu daratan, dan kini dipisahkah oleh lautan. Hewan Marsupialia menjadi buktinya, jika di Papua dan Australian terdapat hewan berkantung.
Berdasarkan penggolongan ras, maka bisa disimpulkan orang Papua aseli adalah mereka yang datang pertama kali menginjakan kaki di Nusantara. Mereka adalah rombongan pertama dan menetap. Ada juga yang perjalananya berlanjut hingga ke Australian dan Polinesia/Hawai. Saat ini dengan mudah menjumpai mereka di Papua berikut dengan kebudayaan yang masih tetap di jaga dari jaman nenek moyangnya.
"Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi." Tidak salah Edo Kondologit menyanyikan lagu dengan syair tersebut. Papua benar-benar tanah surga. Siapa tidak kenal dengan Raja Ampat, walau tidak kenal tetapi dunia sudah mengakuinya, bahkan ada yang menganggap lebih indah dibanding Karibia di Kuba. Bolehlah Raja Ampat menjadi ikon Papua, padahal itu hanya satu tetesan surga saja sedangkan sisi lain masih banyak lagi serpihan-serpihan surga yang belum terjamah. Menjadi pertanyaan sederhana, mengapa surga-surga itu hanya Raja Ampat?
Tahun 2012 saya mengunjungi Wemena. Saat pesawat mendarat dan masuk dalam terminal bandara saya tercengang bukan main. "Ini bandara apa terminal angkudes," benak saya berkata demikian. Terminal bandara dengan dinding dari papan dan jendela kawat ram, kursi dari kayu, dan tiket pesawat seperti karcis bus AKAP. Lihatlah sekarang, Bandara Wamena yang baru yang sudah disulap menjadi bandara modern dan semakin banyak maskapai yang melayani penerbangan.
Berwisata ke Papua yang dulu hanya monopoli orang kaya, dengan stigma yang super mahal saat ini semakin terjangkau. Semakin banyak dan mudah akses menuju Papua, begitu juga dengan informasi wisata yang ada. Untuk mengunjungi Wemena atau indahnya Raja Ampat bisa dengan mudah dan murah. Papua segalanya ada. Untuk melihat salju abadi, budaya asali 100 ribu tahun yang lalu, hingga surga bawah air semuanya ada di Papua. Saya bisa mengatakan, "Syo Tuhan terima kasih".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H