Bapak bangsa ini sepertinya sudah jauh-jauh hari menyadari jika embrio bangsa ini penuh dengan perbedaan berkaitan dengan keyakinan. Ir. Soekarno menanamkan kerukunan perbedaan keyakinan lewat simbol-simbol bangunan yang mencirikan ada perbedaan yang tidak boleh dicerai beraikan. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, dua bangunan peribadatan yang berdiri berdampingan sebagai bukti jika jauh sebelum era media sosial seperti saat ini.
Media sosial yang berkembang pesat saat ini bukan lagi cendawan di musim hujan, tetapi virus yang dengan mudah menyebar kemana saja. Kecepatan media sosial mengalahkan kecepatan pesawat supersonic, bahkan kecepatan cahaya. Mengapa demikian, karena saat belahan bumi lain masih gelap gulita, media sosial mampu menembus kegelapan itu untuk menyampaikan pesan. Inilah kehebatan media sosial yang semua orang bisa memakainya.
Media sosial bak 2 sisi mata uang dan tergantung siapa yang memandang dan memanfaatkanya. Berbicara kurukunan beragama, media sosial bisa menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, atau menjadi senjata ampuh untuk merusak kerukunan. Tidak sedikit sulutan, gesekan, hingga konflik yang mengatasnamakan agama itu muncul dipermukaan gegara media sosial. Perlu disadari, masyarakat kita ada yang bertipe reaktif, ada percikan sedikit saja maka meledaklah sebuah kejadian walau biang keroknya dari media sosial.
Pentingnya merawat kerukunan beragama pada era media sosial menjadi salah satu cara yang efektif disaat semua orang memiliki akun media sosial dan bisa mengaksesnya. Pesan-pesan moral dan kebaikan dapat dengan mudah disampaikan lewat media sosial dan jauh lebih efektif karena langsung tetap sasaran pada penggunanya.
Para penyampai kebaikan lewat media sosial bak para pensyiar lewat dunia maya. Namun, pengguna media sosial juga harus paham dan bijak dalam menggunakan media sosial. Media sosila bisa menjadi representasi mulutmu harimaumu, salah sedikit kita di media sosial bisa dihukum khalayak satu dunia ini bahkan berbuntut hukum.
Kedewasaan dalam memakai media sosial itu yang terpenting dalam menanggapi pemberitaan yang sifatnya sensitif terlebih berkaitan dengan keyakinan. Banyak sekali pemberitaan yang orientasinya tidak lagi menebar kebaikan, tetapi mengambil sisi keuntungan semata. Akhir-akhir ini marak pemberitaan tentang sebuah topik tertentu dan mengharuskan orang untuk "ketik amin dan sebarkan". Sepintas orang akan terbujuk dan melakukannya, harapannya bisa menebar kebaikan justru ada mereka yang mendapat keuntungan dari jumlah "like atau share". Alangkah bijaknya jika mencermati dulu apa isinya lalu dengan bijak menanggapinya dengan logika.
Bersikap bijak dan dewasa dalam bermedia sosial untuk merawat kerukuanan beragama. Munculnya nabi-nabi palsu yang menyaru di media sosial harus diwaspadai. Media sosial bak sebuah pelita, bisa menerangi, bisa juga membakar dan kembali pada kita bagaimana menggunakannya untuk merawat kerukunan beragama. Jangan biarkan orang-orang mengambil keuntungan dengan memecah kerukunan dengan pemberitaan yang melukai keimanan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H