Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literasi Kita Tidak Rendah, Hanya...

31 Agustus 2016   11:27 Diperbarui: 31 Agustus 2016   11:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cambukan yang mengejutkan sekaligus melecutkan semangat untuk membaca.

Saya teringat saat masih SD menerima uang beasiswa Rp 15.000,00 setiap bulannya. Uang tersebut untuk membayar BP3, dan sisanya digunakan untuk keperluan sekolah. Suatu saat beasiswa tersebut berakhir tragis karena dihentikan gegara laporan penggunaan beasiswa saya. Salah satu poin laporannya "membeli majalah bobo dan tabloid fantasi 4 edisi setiap bulannya". Dengan alasan tidak ada hubungannya dengan pendidikan, maka distoplah kucuran beasiswa tersebut. Biasanya setiap hari rabu membaca bobo terbaru, kemudian hari jum'at tabloid fantasi, mendadak tidak ada, seperti ada yang kurang bahkan badan menjadi demam. Dengan susah payah mencari uang agar bagaimana 2 literasi tersebut tetap terbeli yang seolah menjadi salah satu kebutuhan pokok. 

Sampai sekarang saya belum paham, dibagian mana poin yang mengatakan majalah dan tabloid legendaris menurut saya itu tidak ada hubungannya. Dari bobo dan fantasilah, nilai IPA, Matematika dan IPS saya melonjak drastis karena didalamnya banyak latihan soal dan kunci jawabannya. Mungkin yang dimaksud dengen pemberi beasiswa adalah buku-buku pelajaran, padahal di perpustakaan tersedian cukup banyak dan memadai.

cambukan yang mengejutkan sekaligus melecutkan semangat untuk membaca.
cambukan yang mengejutkan sekaligus melecutkan semangat untuk membaca.
Sebelas dua belas dengan pemberitaan akhir-akhir ini berkaitan dengan Indonesia menduduki rangking buncit yakni peringkat ke-60 negara dengan minat literasi. Survey kompas juga mengatakan, hanya 0,001 anak yang menghabiskan 1 judul buku untuk dibaca setiap tahunnya. Sangat ironis dan miris, tetapi memang faktanya demikian.

Acapkali saya merasa ragu, dimana lembaga-lembaga ini melakukan survey hingga mendapatkan angka tersebut dan menempatkan pada posisi tertentu. Memang tidak bisa dipungkiri jika angka sudah berbicara, sebab hitung-hitungan diatas kertas memang demikian. Berbicara literasi, memang bangsa ini masih belum bisa sejajar dengan negara-negara yang memiliki tingkat literasi yang tinggi.

Banyak faktor yang memengaruhi tingkat literasi, mungkin kesempatan, ketersediaan. dan minat. Suatu saat saya mengikuti program one book one traveller yang digagas beberapa orang yang suka melancong. Para pelancong yang tidak sedang melancong diwajibkan memberikan 1 buah buku kepada palancong yang akan melancong untuk diberikan di lokasi tujuannya. Kebetulan waktu itu saya mendapat amanah membawa puluhan buku anak-anak, dan saya berjalan di pelosok Raja Ampat.

Kedatangan saya bak sinterklass dengan kereta rusanya, padahal waktu itu hanya menggendong ransel sambil naik ojek. Sebuah SD dengan perpustakaan yang dihiasi beberapa buku yang sudah kucal menjadi sasaran untuk mendaratkan buku teman-teman. Alhasil anak-anak ini seperti orang jawa mengartikan "kaya pitik nemu beras" semua berebut mencari buku favoritnya lalu membawa lari ke pojok dan menyantapnya. Mereka seolah-olah usai memenangkan kompetisi rebutan buku. Saya hanya bergeleng sambil bersenandika "literasi rendah..?".

Sebenarnya tidak benar juga menghakimi literasi kita rendah. Membaca memang tidak bisa dipaksakan, karena didasarkan pada minat dan karena keadaan. Banyak mereka yang berdarah-darah mencari buku bahkan mengoleksinya lalu membacanay berulang-ulang dengan alasan kepuasan. Ada juga mereka, membaca adalah sebuah kebutuhan bahkan merasa meriang jika sehari saja tidak membaca. Ada juga yang membaca harus dipaksa karena mengerti akan sesuatu, ada juga yang membaca karena pelarian. Banyak alasan mengapa orang membaca, dan kembali tidak bisa dipaksa daripada membuat orang tersiksa.

Suatu sore saya mengunjungi Komunitas Kagem di Lereng Gunung Merapi-Yogyakarta. Komunitas ini menekankan bagaimana mendidik anak berkaitan dalam dunia pendidikan dan tumbuh kembang anak. Dalam kunjungan tersebut ada pak Ang Tek Khun seorang yang menggeluti dunia anak. Dalam perbincangan dengan pak Kun, tersirat jika minat baca anak-anak di sini cukup tinggi.

Sebuab perpustakaan yang berbentuk gazebo, tersedia bermacam-macam buku, dari yang bacaan yang ringan hingga berat. Anak-anak yang rerata masih SD bebas memilih buku mana yang diminati. Sesaat saya mengamati anak-anak di sini berkaitan dengan dunia literasi. Seorang anak yang masih duduk di bangku TK-- saya lupa namanya mengambil sebuah buku cerita bergambar. Sesaat saya bertanya, apa cerita dari buku tersebut. Dengan membaca sambil terbata-bata dia berusaha menjelaskan apa yang dia baca. Walau tidak sepenuhnya utuh, tetapi dia ada minat, niat dan memaksaakan diri untuk membaca dan mengerti.

Iseng-iseng saya memberikan buku yang sedikit berat untuk anak seusianya. Serentak dia  menolak dan tidak mau. Hal senada jika saya diberikan novel, segera saya tolak "sudah ceritanta panjang, tulisan semua, tak ada gambarnya pula" kira-kira demikian alasan saya. Di akhir kunjungan yang di dukung oleh PT.Newmont  Nusa Tenggara, lewat program Batu Hijau Boot Camp di bagikanlah buku-buku untuk kalangan anak-anak. Tidak perlu ditanya lagi apa respon anak-anak "pitik ketemu beras".

Mungkin dari taman baca lentera ini akan lahir lektor kepala, demikian gurauan saya pada dosen UGM yang ikut dalam acara ini (dok.pri).
Mungkin dari taman baca lentera ini akan lahir lektor kepala, demikian gurauan saya pada dosen UGM yang ikut dalam acara ini (dok.pri).
Kadang saya merasa ragu jika kemampuan literasi kita rendah, tetapi kurangnya dukungan dan keadaan saja yang mengkondisikan seperti itu. Tidak juga bisa dipungkiri, jika di bandara kita melihat orang-orang kita asyik dengan gawainya sedangkan para bule sibuk dengan buku tebalnya. Mungkin saja gawai juga berisi ebook , setidaknya membaca pesan pertemanan dimedia sosial tetapi tetap saja masih kurang. Mungkin saya atau kita pernah diusir oleh petugas penjaga toko buku karena membaca di tempat, tetapi setidaknya itu menjadi indikasi adanya minat terhadap literasi. Angka besaran minat literasi dan peringkat dunia literasi silahkan berbicara, tetapi kita cukup membaca dan membaca dan bisa mengubah itu semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun