Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Keluarga Petualang, Women Always in Right

9 Februari 2016   09:02 Diperbarui: 9 Februari 2016   09:06 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibu Agatha sudah siap di dalam ruang kemudi, selama 3 hari akan membawa mobil lebih dari 400 km (dok.pri)."][/caption]

Awalnya tak saling mengenal, kami hanya mencoba mengakrabkan diri lewat jejaring sosial media. Awal kali pertama jumpa, kami bertiga hanya diberikan waktu beberapa menit saja untuk saling mengenal dan menjadi sebuah keluarga baru. Untuk pertama kali Indra bertanya pada saya, "benar mas ngga bisa nyetir..?", saya hanya menjawab "bisa jika benar-benar terpaksa, lha dika sendiri..?". "Saya jadi orang terakhir saja yang nyetir" jawab indra dan kami berdua serentak berkata "lhaaa bunda yang nyetir".

Betapa begonya kami dan betapa lemahnya, 2 orang lelaki yang bergantung pada seorang perempuan. Saya terbiasa masuk dan keluar hutan, naik turun gunung, tetapi tak punya nyali memegang kendali mobil. Indra yang saya tahu seorang teknisi yang bisa bongkar pasang mesin pesawat, juga menyatakan dirinya "biarkan bunda yang membawa mobil nanti saya dampingi". Bunda Agatha, seorang ibu rumah tangga paruh baya dengan tampilan anak muda menjadi andalan kami berdua.

Sebenarnya aib juga mengatakan kisah dibalik layar perjalanan Datsun Risers Expedition (DRE) etape 2 Kalimantan. Dari Balikpapan menuju Banjarmasin sejauh 472Km dengan waktu tempuh hampir 10 jam 2 lelaki duduk manis dan ibu kami lah yang membawa mobil. Menjelang awal perjalanan, bunda Agatha sempat melontarkan kalimat "saya biasa membawa mobil matic, tidak pernah transmisi manual", saya hanya menyeletuk "tenang bu, ngga beda jauh kok, ada kami yang penting tinggal puntir saja kemudi, injak gas, sesekali injak rem dan kopling kalau ingat saja, selebihnya kita lihat apa yang terjadi".

[caption caption="Memegang kemudi dari Balikpapan sampai Banjarmasin (dok.pri)."]

[/caption]

Saya dan Indra kadang hanya meringkuk seperti anak kecil di dalam kendaraan, sedangkan bunda masih menjadi sopir. Sifat keibuan benar-benar nyata saat membawa 2 bayi tua yang pulas tertidur. Benar-benar saya merasakan sebuah keluarga baru, benar keluarga baru ketemu saat beberapa dasarwarsa berlalu. Hanya risers 4 saja yang satu-satunya ada 2 generasi yang berbeda, dengan peran seorang ibu dan anak.

Saat melihat wajah ibu tegang menghadapi tanjakan. Tangan kiri sudah bersiap antara pegang tuas pengganti gigi atau rem tangan, sedangkan kaki entah hendak menginjak apa. Saya merasajan juga keadaan ini, tetapi percaya saja ibu saya bisa mengatasi ini semua. Walau kadang mobil macet atau berhenti saat di tanjakan, bisanya kami akan menyalahkan sopir, tetapi kali ini serentak "ayo bunda, bunda bisa" tanpa bisa berbuat apa-apa, benar-benar ini ibu kami.

[caption caption="Women alwas in right, sellau di kanan atau benar (dok.pri)."]

[/caption]

Pernah dengar anekdot "kami paling takut ibu-ibu mengendarai sepeda motor matic, lampu sign ke ke kiri, tetapi belok ke kanan". Memang tidak bisa dipungkiri, demikian juga dengan yang kami rasakan saat ibu-ibu menyetir. Dalam hati saya kadang melantunkan doa-doa memohon keselamatan dan Tuhan jaga kami dari risers ibu-ibu. Kali ini ibu yang menyetir mobil mampu memaksa kami untuk berdoa daripada seorang pemuka agama. Tanpa di sadari, acapkali garis marka putih di tengah jalan dibabat habis oleh bunda Agatha. Dengan ketus dia berkata "hayo mau apa, ini emak-emak, siapa berani sini, gak apa-apa santai saja, emak-emang ngga pernah salah. Kalau ditangkap polisi nanti saya bilang dan nasehati, pak polisi punya ibu yang melahirkan bukan. coba bayangkan jika ibu bapak itu saya, betapa sakit mengandung dan melahirkan bapak, baru seperti ini saja main tangkap, tangkap saja itu teroris atau koruptor, beraninya sama ibu-ibu". Women always in right, entah artinya perempuan selalu di kanan atau selalu benar yang pasti dia di kanan dan tidak salah, jika salah ingatlah ibumu.

Tiba saatnya kami melakukan kegiatan CSR, saya bingung hendak melakukan kegiatan model apa, begitu juga dengan Indra yang setiap hari berkutat dengan baling-baling pesawat. Bunda Agatha dengan spontan langsung ke toko kelontong, membeli beberapa lembar karton warna-warni begitu dengan spidol berbagai macam warna. "Nanti acara serahkan saya, kalian cukup membantu" kata ibu Agatha dan kami berdua yang menenpatkan diri sebagai anak-anaknya hanya mengagguk. Saya tahu diri hanya bisa memotret, cukup jalan-jalan dengan kamera, sedangkan Indra terpaksa harus bercerita jika waktu kecil ingin jadi pilot tetapi tidak kesampaian, dan kini bekerja tidak jauh-jauh dari pesawat dan lebih mengerti pesawar dibanding pilot.

[caption caption="Urusan anak-anak, serahkan pada ibunya (dok.pri)."]

[/caption]

Sampailah kami di Martapura sebagai pusatnya perhiasan. Saat bu Agatha membawa sesuatu kami hanya bisa melongo dan saya berkata "dasar ibu-ibu". Dia sudah menggengam beberapa biji batu permata dan aksesoris gelang dari kayu gaharu. Padahal waktu itu kami baru sampai dan usai makan, lah bunda sudah belanja pernak-pernik, memang dasar ibu-ibu dan kembali pada kodratnya sebagai seorang wanita.

Saya merasa beruntung menjadi bagian dari DRE. 3 Hari kami merasakan menjadi keluarga petualang bersama rekan-rekan seperjalanan. Risers 4 di dalam kabin kami, merasa inilah keluarga baru kami. Ada seorang ibu dengan 2 orang anak ketemu baru dan seorang bapak yang siap menjadi sopir cadangan. Mungkin hanya grup kami yang bisa merasakan ini, melihat kegigihan seorang ibu-ibu menyetir mobil dari Kalimantan Timur menuju Kalimantan Selatan dengan jalan yang kadang tidak karuan bentuknya. Sekali lagi yang masih saya ingat saat ada oprasi dari Satlantas, hanya ibu Agatha yang tidak menunjukan surat-surat kendaraan dan cukup berbincang dengan polisi maka loloslah kami, padahal kami tidak tahu dimana surat-surata kendaraan. Itulah ibu-ibu, siapa berani melawan maka ingatlah ibumu.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun