[caption caption="Rahmadi cita-cita ingin menjadi Polisi, tetapi dia tidak tahu polisi itu seperti apa. (dok.pri)."][/caption]Semua anak terlahir sama dan berhak memiliki cita-cita. Tetapi dia terlahir dan tidak bisa menolak lahir dari rahim siapa dan tinggal dimana. Jika dahulu takdir menjadi masalah, tetapi kini manusia bisa mengubah. Saya membaca Biografi Andi Noya, bagaimana kisah hidupnya yang semula tidak apa-apa hingga berubah menjadi berada. Lain kisah dengan Tetralogi Laskar Pelangi yang menceritakan kisah anak kampung yang mengelilingi Eropa. Mungkin sosok-sosok inspiratif tersebut akan lahir di pelosok Kalimantan Selatan yang saya kunjungi dalam acara Datsun Risers Expedition.
[caption caption="Berbagi inspirasi dengan anak-anak di SDN Loklahung, Kalimantan Selatan (dok.pri)."]
[caption caption="Aksi mas Yogo dalam menghibur anak-anak dengan sulap (dok.pri)."]
Siapa menyangka sesosok Rahmadi anak kelas 4 SD yang bercita-cita jadi Polisi, pada hari tersebut terkabulkan. Minimal keinginan Rahmadi terkabulkan bertemu. bersalaman, mencium tangan, bahkan berfoto bersama dengan 2 orang Polisi. Dia mengaku belum tahu seperti apa Polisi itu, yang pasti ingin jadi Polisi. Bagitu kami menghadirkan sosok Polisi, dia biasa saja dan baru sadar setelah dijelaskan "ini pak Polisi".
Sosok Polisi begitu absurd bagi anak-anak di Loksado, kecamatan terpencil di Kabupaten Hulu Sungau Utara Kalimantan Selatan. Bayangkan bagimana jika anda naik sepeda motor, tidak memakai helm, tidak membawa STNK dan SIM, lalu melihat 2 sosok polisi berseragam dan bersenjata lengkap. Saya berpikir anda akan bersendika "waduh ada Polisi, celaka". Segala cara akan anda lakukan agar terhindar dari Polisi yang kemungkinan tidak akan menilang anda. Minimal melihat sosoknya sudah menyadarkan anda jika sudah melanggar ketentuan dan aturan berlalulintas.
[caption caption="Anak-anak sekolah sudah terbiasa mengendarai sepeda motor, walau aturan melarangnya. Terlihat sepeda motor para siswa terpakir di halaman sekolahnya (dok.pri)."]
Cukup unik memang melihat fenomena pendidikan di daerah yang bisa dikatakan pelosok. Saya tidak memandang mereka mengalami pendidikan yang tertinggal, sebab semua sarana prasarana tidak berbeda dengan daerah yang lain begitu juga dengan pendidiknya. Bagitu saya masuk dalam satu kelas, mata saya tertunduk dengan kaki-kaki mungil mereka namun kekar. Beragam kasut membungkus kaki meraka, dari yang bagus hingga yang sudah tidak layak dipakai, namun ada juga yang memakai sandal.
[caption caption="Mereka masih nampak kebingungan menuliskan cita-citanya (dok.pri)."]
Lantas saya berpikir, ini bukan masalah orang tua pelit atau tidak mampu membelikan sepatu. Ini kalimantan, ini pedalaman, mau habis sepatu berapa pasang untuk menjangkau sekolahan berangkat dan pergi. Alasan memakai sandal sangat logis, mereka menyeberang sungai, melewati tanah merah yang becek bukan main, bayangkan jika memakai sepatu, betapa ribetnya. Sandal menjadi pilihan yang tepat, mengingat kondisi alam yang demikian.
[caption caption="kadang hanya tersenyum saat ditanya cita-citanya apa (dok.pri)."]
Â
Video ada di sini https://www.youtube.com/watch?v=hHwRgA7kAw0Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H