Sangginora sebuah nama yang sangat tidak familiar ditelinga saya. Sejenak saya berpikir apa nama arti nama tersebut, namun dibalik namanya yang aneh ada banyak cerita yang menarik yang bisa dikisahkan. Tahun 2000-an saat terjadi kerusuhan, maka Sangginora menjadi tempat pengungsian yang aman. Letaknya yang jauh dan terpencil, menghindarkan dari kerusuhan SARA yang terjadi pada saat itu. Berbicara soal keindahan alam, Sangginora mirip desa-desa kecil di Eropa. Entah mengapa saya langsung jatuh hati pada desa ini.
Pagi buta, kepala Puskesmas Tangkura sudah bersiap-siap, karena hari itu akan kunjungan ke Pustu Sangginora. Pagi-pagi benar harus bersiap untuk mengangkut peralatan medis berikut dengan obat-obatan. Saya tidak membayangkan mengapa seribet ini hanya untuk pergi ke kesebuah Puskesmas pembantu. Akhirnya pukul 07.00 kendaraan roda empat melaju sambil sesekali menghampiri pegawai puskesmas dari rumah yang kebetulan satu jalur.
Bentang alam yang luar biasa indah karena untuk menuju Sangginora, dari Kecamatan Poso Pesisir Selatan berjarak sekitar 35Km dengan melewati jalan Trans Poso-Napu. Bukit berbukit ditelusuri dengan jalan yang cukup untuk satu kendaraan, jika berpapasan harus cari tempat untuk menepi. Konon jalan ini sudah dibuat saat jaman kolonial yakni pada tahun 1940-an. Pada tahun 1982 dibangun jalan yang lebih lebar, sebab sebelumnya hanya jalan setapak saja. Kontur bukit-bukit yang curam adalah hambatan yang luar biasa. "Jika nanti jurang di sebelah kanan, berarti kita sudah separo jalan" kata Dedy sambil menyetir melewati jalan yang meliuk-liuk membuat perut mual.
Siang itu, kami singgah di Puskesmas Sangginora untuk segera menggelar alat kesehatan dan obat-obatan. Para lansia dan pasien yang menjadi pasien langganan sudah hadir di teras Puskesmas. Sementara para petugas medis siap ditempatnya masing-masing saya menghilang diantara kerumunan pasien. Saatnya mengelilingi Edensor, desa mungil di Sulawesi.
Sebuah lapangan sepak bola dengan rumput yang hijau dan saya kira sudah standar yang bagus untuk lapangan klub-klub besar di Indonesia. Berdiri ditengah-tengah lapangan, mata ini seluas mamandang rumah-rumah kecil dan bukit-bukit yang menguning. Teriknya matahari tak menghalangi mata ini untuk terus mengagumi, walau salak anjing-anjing kampung tak henti-hentinya menggonggong karena ada tamu asing. Gereja GKST yang megah berdiri dengan menaranya yang menjulang tinggi. Khas gereja bangunan-bangunan Eropa yang megah, besar dan nampak kontras dengan rumah-rumah kecil dibawahnya.
jauh di tepi lapangan Dedy melambaikan tangan dengan menunggangi sepeda motor yang dipinjam dari kepala Puskesmas. Ajakan untuk berkeliling desa tak saya tolak. Jalanan kecil di tepin desa, kami sisir pelan-pelan. Nampak di sisi kanan bukit kecil yang menguning. Sepintas mirip dengan ilalang di musim kemarai, ternyata bukan. Ladang padi lahan keringlah yang menutupi bukit-bukit di Sangginora. Masyarakat di sini sudah swasembada pangan, dan harus sebab karena jauh dari mana-mana. Desa terdekat saja sekitar 28Km dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan.
Di Jefman sebagai pulau terpencil jarang ditemukan beras. Masyarakatnya mengonsumsi pisang dan singkong sebagai pengganti nasi walau lauknya adalah ikan laut. Di sini makan siangnya dengan pisang goreng, singkong rebus, ikan asin, dan sambal. Menu yang istimewa untuk makan siang dan tak lama Dedy kembai meminta untuk masuk kendaraan dan saatnya pulang. Sembari pulang mata saya masih menerang saat jembatan sungai Puna ini sudah dilewati, sebab barusan di kampung Eropa padahal Sulawesi.
VIDEO ADADI SINIÂ https://www.youtube.com/watch?v=ZGWHvDm7z2U
Sumber gambar: Dok. pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H