Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Padungku, Tradisi yang Mempertemukan dan Mendamaikan

13 Agustus 2015   10:00 Diperbarui: 13 Agustus 2015   12:51 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang sore Desa Tangkura usai berbenah. Pagar-pagar sudah diperbaiki dan dicat putih. Beberapa rumah sudah mendirikan tenda berikut dengan pengeras suaranya. Namun, beberapa hewan piaraan seperti babi, ayam, anjing, bebek sepertinya mulai berkeringat dingin karena esok hari sudah ada dalam kuali. Di kebun atau hutan seputar desa, rumpun bambu nyaris habis karena orang satu desa menjarahnya. Senja pun tiba dan asap dari halaman depan, samping, dan belakang rumah sudah mengepul dari pembakaran serabut kelapa untuk membuat nasi bambu dan nompe. Awal dari budaya Padungku di Poso-Sulawesi Tengah.

Budaya Padungku sebenarnya datang dari konsep sederhana yang semakin hari semakin merajalela. Padungku merupakan upacara ucapan syukur dari panen di kebun atau ladang. Dalam ajaran di Alkitab-Kristen ditekankan adanya persembahan kepada Tuhan lewat hasil jerih payah umat-Nya. Jika dalam sejarah Alkitab diceritakan bahwa korban persembahan tersebut adalah hasil pertama dan terbaik lalu dibakar. Saat ini persembahan hasil panen dipersembahkan kepada gereja dengan cara menyerahkan hasil panen kepada gereja.

Semisal ada petani baru saja panen padi di sawah. Maka sepersepuluh panen atau panenan awal diserahkan kepada pihak gereja. Gereja akan melelang hasil persembahan tersebut agar terwujud dalam bentuk uang agar mudah dalam penyimpanan. Usai persembahan ke gereja lalu diadakanlah Padungku, yakni pesta panen sebagai ungkapan syukur dari warga atas hasil panen yang melimpah.

Padungku dilaksanakan satu kali dalam satu tahun. Waktu penetapan Padungku ditetapkan dengan bermusyarawah bersama untuk mencari waktu yang tepat. Biasanya Padungku dilakukan dua bulan setelah panen usai. Pada tahun 2015 Padungku di Tangkura-Poso Pesisir Selatan jatuh pada 29 Juli 2015 karena panen raya pada bulan April dan Mei. Masing-masing desa memiliki waktu Padungkunya sendiri-sendiri, bergantung pada hasil panen dan kesepakatan bersama.

Bagaimana jika keluarga tersebut tidak memiliki lahan pertanian tetapi berpenghasilan dari pekerjaan lain seperti pedahang, guru, pegawai pemerintahan, buruh, sopir dan lain sebagainya? Masing-masing orang akan menyesuaikan diri dengan cara menyisihkan dari pendapatannya untuk Padungku. Sehingga tidak hanya petani yang usai panen, tetapi semua orang bisa melakukan Padungku walau tidak harus panen.

Padungku bisa dikatakan sebuah perayaan pesta yang paling meriah. Walaupun mayoritas beragama Kristen, tetapi perayaan Padungku jauh lebih meriah dibanding Natal, tahun baru, Pentakosta atau Paskah. Inilah budaya warga yang benar-benar masih menjunjung tinggi kearifan lokal. Di sekitar Tangkura, ada kampung Bali yang kesemuanya beragama Hindu dan kampung Jawa yang mayoritas Muslim. Padungku tidak mengenal agama, karena pesta ucapan syukur ini bisa dilakukan semua orang.

Yang menarik dari Padungku adalah menjadi jembatan bertemunya orang-orang lintas generasi, profesi, jabatan, strata sosial, agama, suku dan perbedaan lain yang dilebur dalam pesta hasil panen. Rambu-rambu norma religi tetap dipegang teguh oleh setiap keluarga yang melakukan Padungku. Hampir sebagian besar dalam penyajian menu makanan memperhatikan kebutuhan umat lain yang berpantang makan makanan tertentu. Semisal umat Hindu tidak memakan daging sapi, dan umat Muslim yang tidak makan daging anjing dan babi. Tentu saja hambatan tersebut sudah diantisipasi oleh tuan rumah dengan membuka dua meja makan. Meja makan yang ada di depan adalah makanan buat mereka yang berpantang makan-makanan yang dilarang oleh keyakinannya, sedangkan meja makan yang di dalam adalah buat mereka yang tidak berpantang.

Menu makanan dalam perayaan Padungku adalah nasi bambu sebagai menu wajibnya. Nasi bambu adalah beras yang dibungkus daun pisang dan dimasak dalam tabung bambu yang dibakar. Ada juga daging cincang beserta sayuran yang dimasak dalam bambu dan diberi nama nompe. Menu lain seperti burasu (lontong pipih), timorangsa (daging dengan kacang merah), pongas (tape yang asam, manis dan pahit), dan menu-menu lain yang modern. Minuman khas sulewesi yakni Saguer (nira/legen) yang sudah terfementasi menjadi pelengkap selain minuman beralkohol buatan pabrik.

Menjelang sore bambu-bambu sudah tertata rapi dengan kemiringan tertentu. Serabut kelapa dan tempurung kelapa sisa-sisa panen kopra bertumpuk siap untuk memanaskan bambu-bambu. Nasi bambu dan nompe siap untuk dimasak ketika bara sudah jadi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat nasi bambu dan nompe, saat air dalam bambu sudah mendidih cukup diputar-putar batangan bambu agar panasnya merata. Nasi yang sudah matang bisa dicicip dan nompe langsung bisa dirasakan. Sementara itu, kaum perempuan sudah siap dengan bumbu dan hewan-hewan piaraan yang sudah dijagal. Benar-benar pesta kuliner esok hari, sebagai ungkapan syukur warga.

Pagi hari pun tiba sesaat semua telah bersiap. Orang Sulawesi mengatakan berpasiar/berpesiar, yakni bertandang pada keluarga yang punya pesta Padungku. Warga-warga dari luar desa berdatangan untuk bapadungku, yakni menghadiri Padungku. Pejabat pemerintahan juga hadir di rumah-rumah yang salah satu anggota keluarganya bekerja di lembaga pemerintahan. Teman-teman kerja, kerabat keluarga, teman sekolah semua tumpah ruah dalam pesat Padungku. Padungku juga menjadi kesempatan pengenalan diri para calon bupati Poso kepada calon pemilihnya, ibaratnya sudah mencuri start kampanye.

Mangkoni mangkeni, adalah istilah yang digunakan oleh mereka yang berpesiar yang memiliki arti 'makan dan bawa pulang'. Setiap tamu yang berpesiar diharuskan makan di meja makan tuan rumah, dan saat berpamitan harus membawa apa yang tuan rumah berikan atau jika perlu dipersilakan membungkus sendiri apa yang ada di meja makan. Kantong-kantong plastik sudah tersendia dan tetamu boleh membungkus dan membawa pulang apa yang dia kehendaki. Tuan rumah akan merasa tersanjung jika ada tetamu yang makan banyak dan membawa pulang banyak pula.

Pagi itu Wayan, Ketut, Putut, dan kawan-kawannya yang berasal dari Gantinadi dengan mengendarai sepeda menuju kampung sebelah. Di kampungnya Wayan tidak ada Padungku, karena budaya Bali tidak mengenal itu tetapi ada budaya serupa, yakni Kuningan. Saat Padungku warga transmigran asal Jawa dan Bali berkunjung ke desa yang ada acara Padungku, yakni kampung orang Poso. Sedangkan saat ada acara Kuningan ala orang Bali, atau Saparan ala orang Jawa akan balik mengundang.

Budaya boleh beda nama dan waktu, tetapi esensinya tetaplah sama. Wayan dan kawan-kawan kali ini entah sudah bergerilya ke rumah siapa saja, yang pasti tuan rumah dengan ramah menyambut mereka. Tidak lupa, stang-stang sepeda Wayan dan kawan-kawannya penuh dengan jajanan untuk dibawa pulang. Saya hanya bilang, Poso yang dulu pernah bertikai gegara unsur SARA kini telah berdamai, sebab sebelumnya mereka sudah seperti ini. Ulah oknum yang ingin memecah-belahlah yang menghancurkan kedamaian di bumi Sulawesi yang damai.

"Kasih kotor piring saja, Mas," kata tuan rumah saat saya menolak untuk maju ke meja makan, karena perut yang sudah terisi penuh. Benar saja, sebagai wujud penghormatan kepada tuan rumah, tidak ada salahnya jika mencicipi walau sedikit apa yang sudah disediakan tuan rumah. Yang pasti kita tidak boleh menolak apa yang tuan rumah berikan untuk dibawa pulang. Istilahnya berangkat perut kosong dan bawa orang, saat pulang perut tak ada ruang kosong dan bawa barang.

Acapkali ada yang salah memaknai Padungku sebagai budaya pemborosan. Memang tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menjamu tetamu yang berpesiar. Namun sebuah budaya yang menjadi komitmen bersama, bagaimanapun caranya tetap harus ada dan tersedia. Padungku bisa menjadi motivasi warga agar bekerja lebih giat, menabung, dan ingat Tuhan agar tetap diberi kelimpahan yang nantinya akan dikembalikan lewat pesta ucapan syukur. Budaya bagaimanapun tetaplah budaya, masalah pemborosan, foya-foya itu hanyalah sudut pandang lain saja, yang pasti mereka yang berbicara seperti itu juga larut dalam pesta.

Malam harinya tidak lengkap ditutup dengan modero. Modero adalah kesenian khas Poso. Pria dan wanita akan menari bersama membentuk formasi melingkar. Lagu-lagu dero yakni lagu-lagu Poso diputar untuk mengiringi modero. Acap kali modero ini timbul gesekan akibat tidak terkendalinya seseorang yang sudah mabuk oleh saguer atau cap tikus. Namun gesekan hanyalan bumbu-bumbu dari Padungku dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Padungku mempertemukan semua dalam pesta ucapan syukur. Sampai jumpa mangkoni-mangkeni tahun depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun