Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Padungku, Tradisi yang Mempertemukan dan Mendamaikan

13 Agustus 2015   10:00 Diperbarui: 13 Agustus 2015   12:51 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu Wayan, Ketut, Putut, dan kawan-kawannya yang berasal dari Gantinadi dengan mengendarai sepeda menuju kampung sebelah. Di kampungnya Wayan tidak ada Padungku, karena budaya Bali tidak mengenal itu tetapi ada budaya serupa, yakni Kuningan. Saat Padungku warga transmigran asal Jawa dan Bali berkunjung ke desa yang ada acara Padungku, yakni kampung orang Poso. Sedangkan saat ada acara Kuningan ala orang Bali, atau Saparan ala orang Jawa akan balik mengundang.

Budaya boleh beda nama dan waktu, tetapi esensinya tetaplah sama. Wayan dan kawan-kawan kali ini entah sudah bergerilya ke rumah siapa saja, yang pasti tuan rumah dengan ramah menyambut mereka. Tidak lupa, stang-stang sepeda Wayan dan kawan-kawannya penuh dengan jajanan untuk dibawa pulang. Saya hanya bilang, Poso yang dulu pernah bertikai gegara unsur SARA kini telah berdamai, sebab sebelumnya mereka sudah seperti ini. Ulah oknum yang ingin memecah-belahlah yang menghancurkan kedamaian di bumi Sulawesi yang damai.

"Kasih kotor piring saja, Mas," kata tuan rumah saat saya menolak untuk maju ke meja makan, karena perut yang sudah terisi penuh. Benar saja, sebagai wujud penghormatan kepada tuan rumah, tidak ada salahnya jika mencicipi walau sedikit apa yang sudah disediakan tuan rumah. Yang pasti kita tidak boleh menolak apa yang tuan rumah berikan untuk dibawa pulang. Istilahnya berangkat perut kosong dan bawa orang, saat pulang perut tak ada ruang kosong dan bawa barang.

Acapkali ada yang salah memaknai Padungku sebagai budaya pemborosan. Memang tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menjamu tetamu yang berpesiar. Namun sebuah budaya yang menjadi komitmen bersama, bagaimanapun caranya tetap harus ada dan tersedia. Padungku bisa menjadi motivasi warga agar bekerja lebih giat, menabung, dan ingat Tuhan agar tetap diberi kelimpahan yang nantinya akan dikembalikan lewat pesta ucapan syukur. Budaya bagaimanapun tetaplah budaya, masalah pemborosan, foya-foya itu hanyalah sudut pandang lain saja, yang pasti mereka yang berbicara seperti itu juga larut dalam pesta.

Malam harinya tidak lengkap ditutup dengan modero. Modero adalah kesenian khas Poso. Pria dan wanita akan menari bersama membentuk formasi melingkar. Lagu-lagu dero yakni lagu-lagu Poso diputar untuk mengiringi modero. Acap kali modero ini timbul gesekan akibat tidak terkendalinya seseorang yang sudah mabuk oleh saguer atau cap tikus. Namun gesekan hanyalan bumbu-bumbu dari Padungku dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Padungku mempertemukan semua dalam pesta ucapan syukur. Sampai jumpa mangkoni-mangkeni tahun depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun