Pagi itu Wayan, Ketut, Putut, dan kawan-kawannya yang berasal dari Gantinadi dengan mengendarai sepeda menuju kampung sebelah. Di kampungnya Wayan tidak ada Padungku, karena budaya Bali tidak mengenal itu tetapi ada budaya serupa, yakni Kuningan. Saat Padungku warga transmigran asal Jawa dan Bali berkunjung ke desa yang ada acara Padungku, yakni kampung orang Poso. Sedangkan saat ada acara Kuningan ala orang Bali, atau Saparan ala orang Jawa akan balik mengundang.
Budaya boleh beda nama dan waktu, tetapi esensinya tetaplah sama. Wayan dan kawan-kawan kali ini entah sudah bergerilya ke rumah siapa saja, yang pasti tuan rumah dengan ramah menyambut mereka. Tidak lupa, stang-stang sepeda Wayan dan kawan-kawannya penuh dengan jajanan untuk dibawa pulang. Saya hanya bilang, Poso yang dulu pernah bertikai gegara unsur SARA kini telah berdamai, sebab sebelumnya mereka sudah seperti ini. Ulah oknum yang ingin memecah-belahlah yang menghancurkan kedamaian di bumi Sulawesi yang damai.
Acapkali ada yang salah memaknai Padungku sebagai budaya pemborosan. Memang tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menjamu tetamu yang berpesiar. Namun sebuah budaya yang menjadi komitmen bersama, bagaimanapun caranya tetap harus ada dan tersedia. Padungku bisa menjadi motivasi warga agar bekerja lebih giat, menabung, dan ingat Tuhan agar tetap diberi kelimpahan yang nantinya akan dikembalikan lewat pesta ucapan syukur. Budaya bagaimanapun tetaplah budaya, masalah pemborosan, foya-foya itu hanyalah sudut pandang lain saja, yang pasti mereka yang berbicara seperti itu juga larut dalam pesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H