Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Parang dan Stempel Sang Kades

5 Agustus 2015   07:54 Diperbarui: 5 Agustus 2015   07:54 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Massepe Sidrap 777 Emmang, tercap jelas di warangka dan gagang golok milik sang Kades. Golok buatan Massepe di Kabupaten Sidrap menjadi pegangan kesehariannya, selain stempel kelurahan. Sosok unik yang saya temui di belantara Sulawesi yang sepenuh hati mengabdi.

Konon di beberapa tempat, jabatan adalah kedudukan yang banyak dicita-citakan orang. Banyak yang berlomba-lomba untuk menduduki jabatan tertentu, bahkan dengan bermacam cara. Tidak sedikit terjadi gesekan jika terjadi persaingan dalam memperebutkan sebuah jabatan. Bentrokan antar pendudung atau masanya adalah hal yang biasa dan menjadi dinamika dalam pemilihan sebuah jabatan. Pemilihan kepala desa adalah salah satunya. Namun setelah dipilih bagaimana kinerja kepala desa, itulah yang menjadi pertanyaan kritisnya.

Sosok lelaki berbadan besar dan tegap, berperut tambuh, dengan potongan rambut ala anak muda, dan yang pasti selalu ada golok berwarangka di tangan kirinya. Itulah sosok Daud Gaganda kepala desa Tangkura di Poso-Sulawesi Tengah. Di balik perawakannya yang garang dan selalu membawa parang, ternyata adalah sosok yang ramah dan periang. Sosok yang menyenangkan untuk diajak berbincang, tetapi bikin keder waktu pertama kali tatap pandang terlebih dengan parang di tangan.

Pagi itu dia akan berangkat ke kantor. Langkahnya tertahan oleh kedatangan kami yang hendak ada perlu sebentar. Kami tak berlama-lama di rumahnya dan seketika itu dia akan juga berangkat ke kantor. Jangan membayangkan dia ke kantor dengan pakaian pegawai pemerintah resmi dan formal. Dia mengenakan sandal, celana jeans, kaus dan tidak lupa membawa parang. Kantornya ternyata ada di kebun cokelat. Sebagai seorang lurah, dia juga adalah sesosok petani di desanya.

Lantas bagaimana dengan urusan administrasi keluarahan? Dia menjawab dengan lugas sekaligus sambil mengikatkan tari warangka parang di pinggangnya, "Lurah itu kerjanya hanya memberi perintah. Urusan administrasi biarlah sekretaris desa saja. Jika ada pejabat datang atau urusan ke kecamatan atau kabupaten baru saya berseragam lengkap. Jika tidak ada urusan maka beginilah saya. Yang pasti HP harus selalu menyala siap menerima panggilan, perintah atau kabar apa saja. Yang kedua saya selalu membawa cap stempel kelurahan ke mana saja termasuk ke ladang atau kebun. Jika ada yang butuh saya cukup telepon, lalu kita ketemu di mana saja. Jika ada yang butuh surat-menyurat datang langsung sekretaris desa lalu temui saya untuk minta tanda tangan dan cap."

Lurah yang selalu daring dan kekinian karena begitu mudah dan sederhana melayani warganya. Dia menyadari bahwa sebagian besar warganya adalah petani, dengan demikian juga dia harus melayani ala petani. Kerja tak harus di kantor, tetapi bisa pakai celana kolor. Melayani ala petani cukup dengan parang dan stempel di tangan, karena ada di ladang. Sangat jarang bisa menemukan sosok pelayan warga dengan cara sesederhana, walau diupah yang tak seberapa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun