Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Pati Sagu di Sulawesi

29 Juli 2015   10:07 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:48 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibutuhkan 3 orang untuk menyalakan mesin diesel yang menjadi satu-satunya tenaga penggerak. Dua orang bertugas menarik van belt agar memudahkan seorang yang lain untuk memutar starter diesel. Begitu berhasil dinyalakan, roda-roda penggerak mulai berputar karena terkait dengan van belt. Suara gemuruh dan memekakan telinga dari putaran diesel adalah musik penghibur siang dan malam bagi pekerja pabrik sagu di tepian sungai Puna.

Saya tak menyangka jika sagu-sagu di Jawa ternyata salah satunya dihasilkan di Poso-Sulawesi Tengah, setahu saya sagu berasal dari Maluku atau Papua. Pemilik pabrik sagu juga ternyata dari Jawa Tengah yakni dari Kabupaten Pati. Berikut ada 2 buah truk berplat nomor K yang menandakan karesidenan Pati. Kepak sayap usaha yang dulu di mulai di Jawa kini sudah merambah di Sulawesi dan memiliki tempat usaha di beberapa tempat lainnya.

Siang itu saya berbincang dengan beberapa pegawai yang ada di sana. Hampir semua mengeluh. Seorang karyawan yang bertugas membelah-belah batangan sagu menjadi 4 bagian nampak gusar dengan mesin potongnya. Setelah meraung-raung memekakan telinga tetiba berhenti. Dia langsung memgambil kikir, sebab barusan mata rantai mesin potong mengenai batu. Pelan-pelan dia mencari mata rantai yang tak lagi tajam dan mengikirnya.

Lain kisah dengan para petugas yang berada di tepian sungai Puna. Pompa yang berfungsi menyedot air dari sungai yang berhulukan di Napu-Lore sedang bermasalah karena tidak mau menyala. Sekotak kunci sudah digelar untuk membongkar, namun masish mencari-cari letak kerusakannya di mana. Air sebagai bahan baku pencuci dan perendam adalah bahan utama selain segu dan harus tersedia selalu. Panas terik matahari membuat saya undur untuk menuju tempat perendaman sagu.

Dua orang perempuan nampak duduk termangu di atas karung-karung berisikan sagu yang sudah jadi. Mereka sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Ternyata mereka sedang bingung, karena kualitas sagu yang dihasilkan turun kualitas menjadi tingkat 2. Harga jual untuk sagu tingkat 2 menurun setengah dari tingkat satu. Sagu kualitas 1 di hargai 400 ribu per karung yang berisikan 80 Kg, sedangkan tingkat 2 hanya dihargai setenganya saja.

Dari tutur mereka terucap. "Kenapa ya mas-mas Jawa hasil sagunya lebih bae, dibandingkan orang di sini?" salah seorang bertanya. Saya hanya bisa melongo saja mendengar pertanyaan itu. Namun, salah seorang langsung menimpali saat saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. "Mas-mas Jawa kerja lebih giat, mereka kerja sesuai jam kerja, beda ama kita yang kerja setelah makan dan minum saguer. Mas-mas Jawa sangat teliti melihat sagu, beda sama kita yang asal giling saja makanya hasilnya putih, bersih, beda sama kita sudah merah, hitam dan bau pula." Saya hanya bisa berkomentar, "Belajar dan tirulah mas-mas Jawa."

Terdengar suara tepukan dari tepian sungai. Ternyata teknisi dadakan untuk mesin pompa sudah berhasil membenahi mesin, karena terdengar suara rauangan mesin dan air yang menyembur dari pipa-pipa. Mereka kembali bersemangat. Dua buah mesin diesel sebagai penggerak juga ikut dinyalakan untuk menyambut berfungsinya kembali mesin pompa, sementara mesin potong sudah kembali tajam untuk mengoyak batangan sagu.

Setalah semua mesin berjalan maka siaplah produksi dimulai kembali. Di awali dengan potongan pohon sagu yang dibelah menjadi 4 bagian sama. Mesin parut besar berputar mengikis batangan sagu menjadi serbuk lembut lalu dialirkan lewat pipa besar menuju bak pencucian. Di bak pencucian yang selalu bergoyang berfungsi untuk melarutkan butiran-butiran sagu dari serat-serat kayu. Semprotan air yang mengucur deras akan mencuci lalu mengalirkan menuju bak penampungan yang terletak di bawahnya. Serat-serat sagu kemudian akan berpindah pada ujung bak pencucian dan dibuang menuju sungai.

Sagu-sagu yang sudah terlarut kemudian dialirkan menuju bak perendaman. Dari dalam bak perendaman sagu secara perlahan akan diendapkan dalam kolam selebar 2 meter dengan panjang 20 meter. Butuh waktu sekitar 8-12 jam untuk mengendapkan sagu-sagu ini menjadi tepung/pati. Sagu yang sekiranya sudah mengendap lalu secara perlahan airnya dibuang dengan cara dialirkan secara pelan. Usai sudah berkurang airnya sagu-sagu dipindahkan dalam karung putih yang rerata berbobot 80 Kg.

Dua buah truk sudah menunggu untuk mengangkut sagu menuju pelabuhan yang akan mengantarkannya menuju tanjung perak Surabaya. Sesaat melihat produksi sagu, datanglah sebuah truk dengan membawa gelondongan pohon sagu yang sudah terpotong-potong. Batang-batang sagu ini didatangkan dari daerah pesisir di timur Poso. Harga perpotongan gelondongan batang sagu Rp 12.000,00 atau sekitar Rp 240.000,00 untuk satu pohon sagu.

Permasalahan lingkungan muncul manakala limbah sagu tersebut tidak terpakai. Saat ini hanya dibuang begitu saja di sungai Puna. Ada beberapa transmigran dari Bali yang mengambil limbah sagu ini untuk pakan ternak kususnya babi. Sebenarnya limbah sagu adalah harta pakan yang murah, meriah, sekaligus bermanfaat untuk pakan ternak. Keterbatasan pengetahuan membuat limbah ini hanya mengalir menuju laut saja. Limbah sagu masih terdapat kandungan pati dan sebagian besar adalah serat. Kandungan ini tepat untuk pakam rumenansia yakni sapi. Dengan olah pakan ternak yang tepat, limbah sagu bisa menjadi pakan alternatif yang menguntungkan terlebih bagi ekosistem sungai.

Saat ini untuk mencari pohon sagu semakin susah karena bermunculan pabrik-pabrik sagu serupa. Sasaran berikutnya jika pohon sagu ini sudah habis adalah pohon enau atau aren. Namun beberapa orang kurang sepakat jika pohon enau yang mereka bilang pohon saguer ini dipotong. "Jika nanti pohon saguer ikut dipotong dan habis, maka selesai sudah hidup kita karena tidak ada lagi yang bisa diminum," katanya sambil tertawa dan melirik botol berisikan saguer/nira dan sebelahnya cap tikus yang dijadikan oplosan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun