Â
"Saya tidak minta apa-apa dari ibu, saya hanya minta kalau bisa saya dibelikan sepeda saja biar kalau ke sekolah dan les saya tidak terlambat. Ini ada ada sedikit uang tabungan saya buat beli sepeda, nanti kurangnya minta ibu". Kata Desi anak kelas 6 SD yang saya wawancarai. Sebuah celengan berbentuk kendi dia tunjukan kepada saya sebagai bukti bahwa dia benar-benar menginginkan sepeda.
Di awali dari sebuah rapat di perusahaan. Seorang pemilik pabrik kecap di Karanganyar ingin menjadikan karyawannya sebagai teladan dan inspirasi bagi karyawan lainnya. Maka ditugaskanlah saya untuk mencari apa apa yang menjadi permintaan pemilik perusahaan tersebut. Bekerja sama dengan HRD, kami mencari profil-profil karyawan yang layak dijadikan pelakonnya.
Ibu Sumini salah seorang karyawan yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja di pabrik kecap. Sebagai buruh cuci botol dia harus berjuang menghidupi keempat anaknya manakala suaminya sudah tiada. Saat Ibu Sumini sedang bekerja, saya bersama HRD menuju rumah kediamannya, di Mojo Songo-Solo. Rumah yang sangat sederhana, tetapi dengan segala kerendahan hati saya menyebutnya, rumah yang tak layak untuk di tinggali, Berdinding teriplek yang sudah lapuk, beralaskan tanah, sofa dengan karet yang sudah menyembul, kotoran ayam bertebaran, sangat kotor dan kumuh. Itulah profil dari salah seorang pejuang keluarga.
Hari itu kedatangan kami cukup mengagetkan seisi rumah. Sebuah mobil sedan warna merah terparkir di tepi jalan, saya dan seorang HRD turun menuju rumah sederhana tersebut. Senyum ramah seorang nenek menyambut kami. Dialah ibu dari ibu Sumini, lantas mempersilahkan kami masuk dan duduk. Kaki HRD tiba-tiba menendang saya dengan sepatu high hell-nya, lalu berbisik "awas telek" (kotoran ayam) yang nyaris saya duduki.
Maksud dan tujuan kami sudah kami jelaskan, lalu dipanggilah Desi anak bungsu dari Bu Sumini. Anak yang lugu namun cerdas seolah tak canggung saya ambil gambarnya dengan kamera video. Lantas kami bercerita tentang cita-cita dia ingin menjadi apa. Cita-cita yang tak muluk, ingin menjadi guru dan ingin punya sepeda sendiri. Saat itu Desi duduk dikelas 6 SD dan selalu mendapat peringkat yang terbaik, namun sayang nasib membuat dia kadang harus menahan dan meredam cita-citanya. Ibunya yang menjadi harapannya hanyalah seorang ibu pencuci botol kecap.
Sebuah celengan dari terakota kendi dia tunjukan kepada saya tentang keseriusannya menabung demi sepeda. Sesaat saya meminjam lalu menggoyangkan "masih ringan" pekik hati saya. Telinga saya yang tak gatal serasa ingin digelitik, tetapi ini adalah misi dari perusaahaan yang harus saya laksanakan. Hari itu investigas saya usai sambil meninggalkan harapan yang belum jelas kepastiannya.
Akhirnya dalam rapat perusahaan saya ikut lega kadang ingin ke kamar mandi dan menitikan air mata. Pemilik perusahaan ingin mengabulkan cita-cita anak bu Sumini, yakni membelikan sepeda dan memberi bea siswa untuk pendidikannya. Satu dari sekian banyan cerita bersepeda yang kali ini benar-benar membuat emosi saya membuncah tidak terkendali.
Di bawah tenda TNI, malam itu semuanya pecah. Di balik layar sebuah sepeda mini warna pink sudah di sediakan pemilik perusahaan. Hari itu sedang diadakan pelatihan sumber daya manusia, bagaimana meningkatkan kualitas hidup seseorang. Pemilik perusahaan beranggapan, pekerja adalah aset yang sangat berharga sehingga benar-benar diperlakukan dengan istimewa.
Menjelang pukul 8 malam saat semuanya hening, di panggilah Ibu Sumini. Tanpa di sengaja dia ditanya apa keinginan untuk anak-anaknya. "saya mau anak saya yang terakhir ingin tetap bisa sekolah, jangan sampai seperti ke-3 kakaknya yang harus putus sekolah karena tidak ada biaya. Saya juga mau membelikan anak saya sepeda yang sudah saya janjikan beberapa tahun yang lalu". Usai 2 hari ikut pelatihan 2 hari di hutan Sekipan, akhirnya mimpi-mimpi Ibu Sumini di ejawatanhkan oleh pemilik perusahaan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H