Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sagu Lempeng, Murah Namun Mewah

3 September 2012   04:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59 4644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_210165" align="alignnone" width="600" caption="Sagu lempeng menu baru di meja kantor"][/caption] "kletak" batangan berwarna merah itu saya gigit. Keras dan rasanya ada serpihan pasir yang menyebar di lidah. Tingkah laku saya yang asli orang Jawa langsung disambut Mace, Pace Papua dan Jong Ambon. Itulah pengalaman pertama dikerjain teman-teman dari Papua dan Ambon yang menyuguhkan sagu batangan. Benda persegi berwarna merah mirip tahu ini memang kerasnya bukan main jika digigit. Ternyata ada caranya menikmati sagu batangan ini, dan tak asal gigit dan telan mirip buaya seperti apa yang telah saya lakukan. Sagu merupakan makanan pokok dan khas bagi penduduk di Papua dan Maluku. Bahan makanan berbahan batang Rumbia/ Sagu (Metroxylon sago) yang sudah dipangkur tak beda jauh dengan gandum atau tapioka. Banyak beragam makanan yang dibuat dari bahan baku sagu, seperti;  papeda, sinoli, ongol-ongol, sagu lempeng, sagu gula, sagu tumbuh, bubur ne,  dan Bubur Mutiara. Ada satu yang unik dari sagu yang kebetulan ada didepan mata ini, yakni sagu berbentuk lempeng. [caption id="attachment_210170" align="alignnone" width="600" caption="Apresiasi terhadap Sagu Lempeng bisa memberi nilai tambah."]

1346647891386877145
1346647891386877145
[/caption] Biasanya sagu yang dikenal sudah dalam bentuk tepung atau butiran bulat warna-warni. Penasaran dengan makanan satu ini lantas ngobrol dengan  teman-teman dari Papua dan Ambon yang sore itu menikmati sagu lempeng. Sambil mendengarkan lagu yang didendangkan Edo Kondologit yang berjudul Pankur Sagu, kami menikmati sagu lempeng sambil ditemani teh panas. Sagu lempeng, adalah tepung sagu yang dimasukan dalam cetakan tanah liat lalu dipanaskan dengan cara dipanggang. Warna merah yang muncul dari ini tepung sagu yang dipanaskan dalam cetakan  dan disebut Porna, demikian Jong Ambon menjelaskan. Sangat menarik  sekali pengolahan sagu lempeng ini, namun nilai tambah dari pengolahan ini adalah sebuah teknologi pangan untuk pengawetan. Pengawetan dengan pemanasan, yakni dengan mengurangi kadar air mampu menghambat pertumbuhan mikroba dan jamur, sehingga sagu bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa modifikasi juga ditambahkan dalam membuat sagu lempeng ini. Penambahan bahan-bahan seperti kacang dan gula sebagai komposisi sagu lempeng adalah modifikasinya untuk memberi nilai tambah. Berbicara kandungan nutrisi, sagu tak kalah dengan sumber pangan yang lain seperti; padi, gandum, jagung dan singkong. Sagu memiliki kandungan gizi karbohidrat 84,7%; Protein 0,7%; lemak 0,2%. Tak salah jika masyarakat Papua dan Maluku memanfaatkannya sebagai bahan pangan. Kandungan kalori sebesar 353kal/100gr sagu menjadi sumber energi yang tak kalah dengan bahan pangan lain. [caption id="attachment_210171" align="alignnone" width="600" caption="Cukup di Colo (Maluku/Papua) / celup di teh panas atau susu, maka sagu lempeng sudah bisa dinikmati."]
134664804361042789
134664804361042789
[/caption] Stigma sebagian besar masyarakat, kalau belum makan nasi belum makan yang acapkali memarjinalkan makanan unik ini. Sagu lempeng, seharusnya menjadi keanekaragaman pangan dan tidak hanya di Indonesia timur saja, seharusnya ke seluruh penjuru tanah air. Saya puas, kenyang makan sagu ini walau rasanya asing, namun ternyata enak juga. Kesan aneh pertama kali menggigit kerena tidak tahu, begitu paham bagaimana mengkonsumsinya malah menjadi ketagihan. Pagi hari sarapan, cukup teh manis atau susu dan sagu lempeng selamat tinggal nasi untuk beberapa waktu. foto dok.pri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun