Sebelumnya perkenalkan, kami adalah segerombolan mahasiswa yang belum sekalipun menghadapi dan berada di lokasi bencana. Kami hanya ingin mengabdikan diri pada kemanusiaan, namun tak tahu harus bagaimana. Berjalan sambil berjalan, itulah yang terjadi pada saya dan rekan-rekan. Siang itu, pelajaran berharga kami peroleh dan segera kami berkumpul untuk saling berdiskusi. Sepakat, kantor pak Lurah kami jadi kan posko dan semua bantuan yang masuk harus masuk posko dulu. Cibiran dan kesan negatif melekat pada kami yang sesaat harus menahan bantuan untuk pengungsi. Di luar kantor penduduk sudah siap-siap untuk mendapatkan bantuan, kami yang didalam dengan dus-dus mien instant, botol air mineral dan bahan-bahan lain penuh dengan ketakutan. Butuh keberanian untuk menghadapi jumlah yang masa yang banyak, bagaimana harus berdialog, negosiasi dan dengan tetap berempati. Dari hati kemi mencoba menjelaskan maksud dan tujuan kami, beserta apa yang kami lakukan kedepannya. Ternyata argumen kami diterima dan semua kembali dengan tertib ketempatnya masing-masing. Sekarang tugas berat menanti kami, bagaimane mendistribusikan bantuan serta menjaga agar tetap terus ada. Bukan perkara mudah menghidupi 2000 orang dengan jumlah kami yang tak lebih dari 10 orang ini. Memang beban berat ada dipundak kami bagaimana mengawal dan menjalankan aksi kemanusiaan ini. Pekerjaan dimulai pukul 4 pagi, kami harus bangun mempersiapkan makan pagi buat pengungsi. Kami laki-laki, tak tahu apa yang harus dilakukan pagi itu. Akhirnya menyerah pada keadaan, kami hanya bisa menyediakan alat dan bahan masak, sekarang silahkan ibu-ibu dan remaka putri dari pengungsi yang mengolahnya menjadi makanan. Pagi hari, kami membagikan makananan kecil dan susu kepada anak-anak di pengungsian dan mengajari mereka tertib serta budaya antri. Setelah makan sarapan, kami bersama pemuda dan bapak-bapak di pengungsian mencoba membenahi fasilitas dipengungsian terutama berkenaan dengan sanitasi. Kami mahasiswa yang setiap hari berkutat dengan alat tulis, kali ini harus memegang cangkul untuk menggali dan membuat WC umum. Kami yang biasa berkutat dengan laboratorium di kampus kini harus bisa mendisain kamar mandi umum, dapur umum beserta aliran airnya. Apa yang kami kerjakan, adalah apa yang pertama kali kami lakukan dan harus turun dilapangan.
Menjelang siang, kami kembali disibukan lagi dengan urusan makanan untuk pengungsi. Berbagai masukan dari warga yang mengungsi kami dengar dan coba carikan solusinya. "kami tidak suka makanan kaleng/ikan kaleng, kami tidak suka dengan daging dalam kemasan", akhirnya akal kami dapat. Makanan sesuaikan dengan budaya makan penduduk setempat. Kami turun ke pasar untuk membeli sayuran, ikan asin, kerupuk dan menu-menu penduduk desa. Alhasil apa yang kami lakukan mendapat respon yang baik, sebab alergi terhadap makanan kaleng sudah tidak ada lagi dan tidak ada lagi makanan yang terbuang gara-gara asing di lidah pengungsi.
Lantas bagaimana dengan nasib kami, yah kami sudah terbiasa dengan kondisi apa adanya dan adapanya apa. karena kami semua sebagian besar anak kost, jadi tak ambil pusing dangan yang namanya makan dan tidur. Apa yang didepan mata bisa kami makan tanpa ada masalah, bahkan lebih mewah dari menu keseharian kita di kost. Seperti biasa kami makan dalam satu lembar kertas makanan, dan kita santap bersama, itulah keseharian kami. Tak ada masalah bagi kami tentang apa yang akan kita makan dan tidur dimana, yang pasti semboyan kita "apa adanya dan adanya apa". Tak terasa hampir 1 bulan Merapi masih belum dinyatakan aman, dan pengungsi belum diperbolehkan pulang. Kami bertekad terus mengawal dan melayani mereka hingga pulang. Konsekuensi logis kami adalah berbenturan dengan studi kami. Namun kebijakan kampus membuat kami bernafas lega. Belajar jarak jauh dengan bantuan internet, itu yang kami lakukan. Tugas dan belajar kami lakukan lewat email, sehingga bisa kami kerjakan dimana dan kapan saja. Hampir 2 bulan kami bersama sekitar 2000 penduduk Gunung Merap sisi Utara yang mengungsi di Candi Sari, Ampel Boyolali. Kebersamaan, kehangatan dan keakraban sudah tercipta antara kami yang menyebut diri sebagai relawan, dengan pengungsi dan penduduk setempat. Ada ikatan emosional, disaat kami dipertemukan dalam suasana mengerikan dan mencekam. Kini kami harus berpisah, disaat pengungsi bersiap untuk pulang kekampung halamannya masing-masing. Jabat tangah haru menghiasi perpisahan kami, setelah hampir 2 bulan dalam satu atap kebersamaan. Tak ada yang istimewa dari pertemuan dan perpisahan tersebut, tetapi banyak pelajaran berharga dari kami anak kampus yang baru belajar tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Dalam pesan dalam kotak masuk surat elektronik, "mana foto Merapi..?", dan sampai sekarang belum terjawab pertanyaan dari media tersebut. Kini foto Merapi sudah menghiasi sampul sebuah buku berjudul "Relawan Merapi,Berbagi Jejak Kebersamaan untuk Anak Negeri" yang "100% for Charity". Itu yang bisa kami lakukan dan berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H