Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Esemka Meruntuhkan Paradigma Negatif SMK

5 Januari 2012   11:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esemka, kini menjadi buah bibir dikalangan elit politik gara-gara mobil dinas walikota Solo. Nada lempeng ala ketua wakil rakyat, atau nada miring ala Jawa Tengah 1 ikut mewarnai karya anak bangsa ini. Mata pendidikan kini sudah terbuka, lewat slogan ''SMK bisa'' kini sudah terbukti nyata, sehingga pandangan sebelah mata itu sirna seiring prestasi anak bangsa. Bukti nyata pendidikan yang mengarahkan kepakaran dalam salah satu bidang ternyata hasilnya membanggakan, saya kira tak kalah dengan mereka yang menggondol medali di olimpiade internasional yang digadang-gadang anak pilihan.

SMK, yang dahulu dikenal STM ''Sekolah Teknik Menengah'' dan SMEA ''Sekolah Menengah Ekonomi Atas'' kini sudah berani berdiri sejajar dengan SMA. Stigma SMK sebagai sekolah atas kelas 2 kini sirna dengan prestasi nyata anak bangsa. Jadi teringat sekitar 12 tahun yang lalu, usai lulus SMP. Awalnya lulus SD mau masuk di ST ''Sekolah Teknik'', tetapi dilarang orang tua dan harus masuk SMP. Dengan NEM yang cukup tinggi, saya memberanikan diri bilang ke orang tua ''saya mau masuk STM elektro''. Jawaban sinis muncul dari orang tua ''owalah le... kamu mau jadi apa di STM, yang kerjanya tawuran, mbolos dan kalo lulus mau kemana gak jelas''. Waktu itu, STM memang terkenal dengan siswa yang bengal, jago bolos dan ahli tawuran, sedangkan SME isinya cewek-cewek genit.

Memang tak bisa di pungkiri realitas saat itu, bagi siswa yang tak diterima di SMA favorit, atau dibawahnya pasti larinya ke STM atau SMEA, daripada tidak sekolah sama sekali. Walaupun tidak sedikit juga yang punya minat manut STM atau SMEA. STM katakanlah dahulu sebagai tempat anak-anak dengan ''barisan sakit hati'', karena tak diterima di SMA, sehingga senasib sepenanggungan. Jika sudah tawuran, STM dijamin paling depan, punya nama dan disegani. Sebagai warga kelas 2, STM merajai adu otot dibanding otak, sehingga munculah stigma negatif saat itu.

Akhirnya, pupus sudah masuk STM jurusan elektro dan dipaksa orang tua masuk SMA yang favorit dikota saya tinggal. Kebetulan, jalan di SMA dan STM dalam satu kawasan, sehingga tiap hari selalu bertemu dengan anak-anak STM yang garang-garang. Dengan dandanan khas, sabuk gari gear motor, rokok nyelempit ditelinga, sebuah buku yang dilipat dikantong belakang menjadi pembeda wajah STM dan SMA. Sadar juga kata orang tua ''mau jadi apa masuk STM kalao begitu model sekolahnya''. Stigma jelek itu pun melekat dalam benak saya, dan menganggap STM sebagai anak-anak yang gak jelas nasibnya.

Paradigma saya runtuh disaat salah satu sodara sepupu masuk SMK jurusan otomotif baru-baru ini. Kesan siswa brutal, berandalan, tawuran tidak ada sama sekali, dan tak beda jauh dengan anak-anak SMU. Yang membuat saya kagum, dengan tubuh kecilnya mahir bongkar pasang untuk memperbaiki sepeda motor, jika saya dijamin ''terima bongkar, tolong pasang sendiri''. Jangankan sepeda motor, benerin CPU komputer yang semua sudah diatur bentuknya, jika tidak cocok tak masuk saja masih salah, dan setelah semua beres sekrupnya sisa banyak. Kagum saya dengan sodara sepupu yang begitu terampil dalam otak-atik mesin, kekaguman itu memuncak saat diterima masuk kerja disebuah perusahaan otomotif.

Mungkin siswa-siswi SMU sudah tak heran menggondol medali di olimpiade sains yang menjadi kebanggan semua pihak. Jadi pertanyaan kritis, mau diapakan medali tersebut jika hanya hasil menguasai konsep dan teori tanpa ada hasil nyata untuk masyarakat. Mungkin anak SMK tak sampai otaknya jika harus mikir sampai olimpiade, tetapi lewat ketrampilannya kini sudah membuktikan dan tak kalah dengan juara olimpiade.

Korps wear pack dan kunci inggris mungkin tak tahu siapa Yohanes Surya dan tak berharap di undang ke istana negara atau mendapat jalan tol masuk gratis tanpa test di perguruan tinggi negeri. Kini mereka butuh apresiasi sebagai aset bangsa dan amunisi menuju kemandirian dalam bidang otomotif salah satunya. Sanjungan, pujian atau kritikan sepertinya tak mereka butuhkan, tetapi mereka butuh tangan-tangan yang berkompeten untuk turun langsung mendorong dan menarik mereka agar semakin berkembang. Esemka mungkin hanya sebagian dari karya-karya remaja di negeri ini, tetapi masih banyak lagi karya mereka yang harus di apresiasi. SMK bisa, memang sudah terbukti dan menjadi kebanggaan bersama dan mampu melunturkan kesan miring sekolahan kelas 2. Selamat buat siswa-siswi SMK, kalian bisa dan tunjukan bahwa SMK bukan pelajar kelas 2 namun pelajar yang bisa memberikan kebanggan dan andil kepada bangsa Indonesia. SMK bisaa........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun