Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesederhanaan di Balik Kemewahan Petani Tembakau Temanggung

7 September 2011   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar nama Temanggung, pasti yang terlintas adalah Tembakau. Tanaman asal Amerika Latin tersebut menjadi sumber hidup bagi petani di Kabupaten Temanggung. Tidak tanggung-tanggung, dengan tembakau mereka menjadikan pegangan hidup. Memang tidak bisa di pungkiri, jika tembakau Temanggung memiliki kualitas yang terbaik di Indonesia, bahkan dunia mengakuinya. Tembakau temanggung ibarat, lauk pauk dalam sebuah hidangan, sedangkan nasinya adalah tembakau diluar Temanggung. Dengan asumsi budaya Jawa, bahwa yang namanya lauk jelas dengan porsi yang lebih sedikit.

Saat sampai di sebuah dusun Cepit, seluas mata memandang hanyalah tanaman Tembakau. Rumah bertingkat dengan halaman luas yang penuh dengan para-para penjemur Rigen menjadi ciri khasnya. Aroma pedesaan yang semerbak bau tembakau menambah ciri kuat sebagai daerah penghasil utama tembakau. Bulan Agustus - September adalah puncak panen tembakau, dan saatnya orang Temanggung sedang menuai emas hijau yang terhampar luas di ladang.

Memangnya berapa rupiah dari menanam Tembakau, jika anda sekilas melihat seolah tidak percaya apa yang sebenarnya terjadi. Puluhan hingga ratusan juta masuk dikantong disaat panen berhasil, jika gagal maka hanya untuk menambal celah-celah lobang dari modal awal. Rumah yang sederhana, namun kokoh berdiri dengan 3 mobil bak terbuka berjajar, deretan sepeda motor bukanlah para tamu yang parkir, tetapi properti pribadi petani.

Suatu saat iseng di ajak masuk disalah satu rumah penduduk. Didalam rumah sudah berjajar keranjang-keranjang Tembakau siap kirim. Lantas terdengar suara, ''hanya laku 300 juta saja''. Suara dengan nada rendah dan sedikit serak seolah halilintar menyambar gendang telinga. Dari raut polos seorang ibu istri petani, hanya bilang kalaua tembakaunya cuma ditawar 300 juta dari 500 juta yang diajukan. Namun apa boleh buat, dengan 300 juta sudah bisa menutup modal awal sekiatar 100an juta lebih.

Sebuah pertanyaan muncul, uang sebanyak itu untuk beli apa?. Kembali dengan jawan bernada serak, yang penting bisa buat beli beras dan pupuk untuk musim tanam selanjutnya. Sebuah permintaan yang sederhana, beli beras dan pupuk, tanpa berpikir beli televisi layar datar 60'', atau barang mewah selanjutnya. Jangankan barang mewah, biaya untu menyekolahkan anaknya ke luar negeri pun lebih dari cukup.

Pola sederhana dan bijaksana dalam menyikapi setiap untaian rejeki yang setiap setahun sekali di panen. Disela-sela pembicaraan, bahkan ada yang bisa mengais uang mendekati satu miliar dari hasil tembakaunya. Sebuah harga yang fantastis untuk tanaman berumur 3 bulan atau 100 hari tersebut. Tidak heran banyak yang tergantung sepenuhnya pada Tembakau, walau terpaksa menyingkirkan tanaman lain. Tembakau memang tidak bisa dipisahkan dari masarakat Temanggung.

Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa petani-petani disana yang konon katanya memegang uang puluhan hingga ratusan juta rupiah seolah hidupnya tidak berubah. Bahakan desa yang menghasilkan uang miliaran rupiah dari emas hijau, masih seperti desa tertinggal dan dengan uang sebanyak itu bisa saja membangun perumahan sistem cluster atau apartemen mewah. Kembali pada budaya lokal, memang begitulah kehidupan mereka yang menganggap kekayaan bukan segala-galanya.

Bukan masalah mereka tidak menabung, investasi atau berbelanja, namun ada kebutuhan lain yang mereka anggap lebih penting dari sekedar hura-hura. Mereka tidak segan mengucurkan puluhan juta demi menanggap wayang atau tontonan sejenis. Mereka tak pelit untuk keluar biaya pesta rakyat, dari slametan hingga nyadran. Namun disitulah letak kearifan mereka dalam memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam. Andakata mereka semua berubah menjadi manusia yang hedonisme, apakah masih ada yang mau keladang memikul pupuk, mencangkul dan merwat Tembakau, enakan di rumah dan berfoya-foya.

Panen bagi mereka bukan puncak dan akhir dari sebuah pesta, namun awal dari pesta itu sebenarnya. Hasil panen harus bisa di bagi mana untuk modal tanam, biaya perawatan, biaya hidup dan kebutuhan lain, hingga semua rata terpenuhi. Seolah tidak ada celah yang luput dari semprotan hasil panen dan semua rata kecipratan. Pola pikir yang sangat sederhana, tahun depan dan selanjutnya masih bisa panen. Hidup yang penuh pengharapan dibalik kesederhanaan untuk menanam emas hijau dan menuai ratusan juta rupiah. Mungkin sepintas diwajah polos dan rumah sederhamana mereka masuk kategori keluarga miskin, namun jangan salah disaat pundi-pundi rupiah yang tersimpan diladang siap didulang. Jangankan membeli motor, dealer pun bersiap-siap kehabisan stock, atau beli beras sambil naik mobil mewah. Memang itulah mereka dengan segala kearifan, kebijaksanaan dalam menyikapi sumberdaya alam dengan penuh kesederhanaan.

salam

DhaVe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun