[caption id="attachment_327343" align="aligncenter" width="512" caption="Pelataran rumah si Pitung di Marunda, Jakarta Utara (dok.pri)"][/caption]
Di sudut pagar tembok di bawah rimbunya kanopi Rhizophora apiculata, saya termenung memandang rumah panggung berwarna merah. Disapu semilirnya angin dan diterangi hangatnya sang surya yang condong ke barat, saya hanya membayangkan bagaimana kosnpirasi antara si Pitung dan Haji Saifudin. Ada sudut pandang yang mengatakan si Pitung merampok ala Robinhood, namun ada yang menyangkal karena kejadian tersebut adalah kerja sama.
Sore ini, saya bersama teman merapat ke Marunda di sisi utara Jakarta. Dari kejauhan matahari bersembunyi dibalik awan, entah itu uap air atau asap polisi. Berjalan menyusuri aspal yang penuh dengan debu, kerena sedang ada proyek pengerjaan jalan tol. Tujuan saya adalah rumah Si Pitung di kampung Marunda, yang konon menjadi legenda di Batavia.
[caption id="attachment_327344" align="aligncenter" width="403" caption="Rumah si Pitung nampak dari sisi kanan bangunan yang terendam genangan air. Nampak bakau tumbuh di sudut pagar (dok.pri)."]
300m kami harus berjalan dari halaman parkir kendaraan menuju sebuah jembatan yang menjadi muara. Sisi kanan kiri terdapat perkampungan penduduk yang berbentuk panggung dengan tambak di sekitarnya. Aroma laut begitu khas, dan inilah kampung nelayan di Marunda.
Sampailah pada sebuah gerbang dan hanya ada seorang penjaga. Sebuah buku tamu harus dilewati sebelum masuk dalam rumah si Pitung. Dari teras gerbang, saya mengamati ada 3 bangunan besar berbentuk panggung. Mulailah saya menapak rumah pertama yang identik dengan rumah si Pitung.
[caption id="attachment_327345" align="aligncenter" width="403" caption="Kamar tidur Haji Saifudin (dok.pri)."]
Tahun 1866 si Pitung lahir di Tangerang dari seorang ayah yang berasal dari Kampung Cikoneng dan ibu dari Rawa Belong. Saat usia 8 tahun si Pitung harus menerima kenyataan pahit karena ayahnya menikah lagi dan ibu kandungnya tidak mau dijadikan istri muda. Mereka akhrinya berpisah, ayahnya tetap tinggal di Tangerang dan si Pitung dan ibunya kembali ke Rawa Belong.
Masa kecil Pitung digunakan untuk mengembalakan kambing milik kakeknya. Saat usia 14 tahun dia dipercaya untuk menjual kambing di pasar kebayoran. Nasib sial menghampiri dia, karena sepulang dari dari pasar dirampok. Karena ketakutan, dia tidak berani ke rumah dan lari mengembara.
[caption id="attachment_327346" align="aligncenter" width="403" caption="Mungkin seperti inilah gambaran kecil si Pitung. Dari jendela rumah panggung dengan res plang ukiran batawi yang khas (dok.pri)."]
Dalam pengembaraannya si Pitung bertemu dengan Na'ipin seorang ahli tarokat yang jago silat. 6 tahun lamanya si Pitung berguru, hingga masuk dalam sebuah pergumulan pemberontakan pada Belanda yang menguasai Batavia pada masa itu.