Si Pitung berubah menjadi jawara silat yang tanggung. Bersama sepupunya yakni Ji'ih melakukan aksi perampokan kepada saudagar-saudagar kaya. Hasil rampokan digunakan untuk biaya perjuangan melawan penjajah. Akhirnya si Pitung harus bersolo karir karena, Ji'ih berhasil ditangkap lalu di penjara, dan di hukum mati.
Aksi si Pitung semakin menjadi-jadi dan sangat susah untuk ditangkap. Suatu hari si Pitung ke Kampung Marunda, tepatnya di lokasi saya berdiri. Inilah rumah haji Saifudin seorang saudagar ikan yang kaya raya. Ada yang mengatakan si Pitung merampok, ada juga yang mentakan mereka telah bekerja sama untuk mendanai perjuangan. Konspirasi itulah yang menarik dan kini bangunan itu menjadi saksi bisu Robinhood dari betawi.
Akhir riwayat si Pitung jatuh ditangan Schout Hijne dan pasukannya. Si Pitung dan hadang di Pondok Kopi lalu dihujani dengan peluru. Dalam sakarathul mautnya si Pitung konon katanya terus menyanyi nina bobo dan minta dibelikan tuak. Belum habis tuak ditenggak, maka berakhir sudah riwatanya seiring saya menuruni anak tangga menuju pintu keluar.
[caption id="attachment_327348" align="aligncenter" width="448" caption="Masjid marunda, terletak di dekat rumah Pitung 9dok.pri)."]
Sebuah bangunan yang berisi sepenggal sejarah warga Betawi dalam melawan penjajah. Walau meninggal pada usia 28 tahun, si Pitung menjadi legenda bagi warga Betawi dan menjadi sosok yang dikagumi masyarakat dan ditakuti bagi musuh-musuhnya. Bangunan ini menjadi saksi saat konspirasi hajin Saifudin dan Pitung berlangsung.
2 bangunan yang berdiri tepat didepan rumah Pitung adalah mushola dan galeri. Saya mencoba memasuki pelatarannya yang sejuk dan dipagari pohon bakau. Dimasa lalu dari sini bisa melihat laut utara jawa, dan kini sudah berubah menjadi dermaga kapal niaga.
Tak berselang lama saya meneruskan langkah kaki menuju Masjid Marunda. Tak banyak informasi yang bisa saya dapatkan dari masjid ini. Yang pasti ada cerita yang menarik dari bangunan ini, karena ada perpaduan etnis tiong hoa dan betawi. Sumur di depan masjid, sepertinya bukan sembarang sumur karena ada beberapa pengunjung yang mengambil airnya dalam botol-botol plastik untuk dibawa pulang.
[caption id="attachment_327349" align="aligncenter" width="448" caption="Menuju dermaga marunda yang kontras dengan bangunan di sebelahnya (dok.pri)."]
Langkah saya tak mau berhenti sampai di sini. Sebuah dermaga dari bambu di bibir pantai menarik saya. Luar biasa, di depan saya sudah laut lepas dan inilah lokasi yang tepat untuk menyaksikan matahari terbenam.
langkah kecil saya menyusuri lorong-lorong berisi kioas dan balai-balai bambu. Kios-kios tersebut menjajakan anekan makanan dari laut seperti kerang hijau, kepiting, tiram serta beragam jenis ikan. Menu-menu tersebut tak sedikitpun menggoda saya, namun pancaran hangat dari baratlah yang menarik saya.