Saya teringat dengan cerita teman saya yang mengadu nasib di negera tetangga. Saat di bandara dia merasa lelah dan mengantuk. Sesaat ingin merebahkan di jajaran kursi bandara yang empuk. Baru saja punggung ini mendarat, datang petugas yang mengatakan "silahkan tidur tetapi tidak boleh merebahkan badan, karena hak anda cuma 1 kursi saja". Saya tersadar saat banyak yang menggemborkan pemenuhan hak-hak, namun banyak yang merampoknya.
[caption id="attachment_328609" align="aligncenter" width="512" caption="Semua mata mengarah pada saya. Apakah saya salah, ternyata di belakang saya yang dimaksud. namun saya juga salah karena melanggar peraturan untuk tidak memotret hehehehe :D (dok.pri)."]
Saya lantas mencoba berkaca pada kondisi negeri saya sendiri dan tiba-tiba saya merasa malu sekali saat antri di loket imigrasi. Saya mencoba mengikuti gaya orang bule yang baris tertib untuk minta cap di paspor. Tibalah giliran saya yang sedari tadi mencoba bertahan di belakang garis kuning. Saat saya sampai di depan loket tiba-tiba petugasnya dengan nada keras sedikit berteriak "please go back.. go back.. go back..!" spontan saya mundur. "no you sir... please come back " saya yang kebingungan lantas menengok ke belakang. "maaf.. maaf.." seorang perempuan berkata sambil mendur di belakang garis kuning. Semua mata memandang dan selintas ada suara yang menyakitkan, menghina sekaligus menampar harga diri "indon".
[caption id="attachment_328610" align="aligncenter" width="512" caption="Di sini raja jalanan adalah pejalan kaki yang benar-benar dijaga dan dijamin keselamatannya. Nampak seorang petugas yang mengawal para penyebrang jalan 9dok.pri)."]
Pagi hari di negeri orang paling enak adalah mengenali seluk beluk kota dengan olah raga. Saya bak raja jalanan pagi itu. Trotoar memang dibuat untuk memanjakan pejalan kaki. jalurnya teduh, rapi, steril dari tenda-tenda PKL dan begitu memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Saya yang berlari dan harus menyeberang jalan, karena takut maka saya tengok kanan kiri sambil berdiri di zebracross. Tak dinyana ada sebuah truk dan bus berhenti mendadak dan pak supirnya membuka kaca dan melambaikan tangan untuk mempersilahkan saya menyebrang. Andai ini terjadi di negeri saya pasti saya daftarkan dalam 7 keajaiban dunia dan warisan dunia.
[caption id="attachment_328611" align="aligncenter" width="512" caption="Sampai juga di tanah air, kebetulan ada warga negara yang masih buta huruf atau tidak memahami aturan. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga, kan tidak boleh duduk disini nanti menutupi tulisan :D (dok.pri)."]
Akhirnya saya mendarat juga di tanah air. Zona nyaman dan aman di negeri tetangga berubah drastis saat semuanya berbeda dengan yang saya alami sebelumnya. Saya kembali pada sebuah realita negeri yang sepertinya semaunya sendiri. Kalau kita tertib malah menjadi masalah. Coba saja berhenti saat lampu merah dan jalanan sepi atau ada ibu-ibu minta jalan untuk menyebrang, pasti suara klakson meraung-raung dari belakang.
[caption id="attachment_328612" align="aligncenter" width="576" caption="Sopir bus kita memang terlatih. Borkomunikasi dalam mengendari dengan kecepatan tinggi. Dalam keadaan menyalib saja masih bisa menggunakan telepon genggamnya. Saya yang duduk tepat di belakang sopir saja sampai keringatan, tetapi percayalah padaNya. (dok.pri)."]
Tertib, disiplin, penghargaan hak itu semua fatamorgana, itu semua semu  karena nan jauh disana. Ini Indonesia dan nyata di depan mata. kalau dihitung,  entah sudah tertinggal berapa langkah negeri kita, namun kita patut bangga karena kita bukan dibarisan terakhir. Saya tak ingin menjadi negeri tetangga, saya ingin tetap ini Indonesia yang harus terus berbenah untuk menjadi negara yang memiliki harkat dan martabat di mata dunia. Mulai dari mana, ya dari kita dengan berkaca kebobrokan bangsa sendiri untuk mengejar mereka yang didepan atau setidaknya sejajar. Kita bisa lebih baik...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H