[caption id="attachment_330464" align="alignnone" width="640" caption="Batu-batu raksasa di gunung purba Nglanggeran (dok.pri)."][/caption]
Saya teringat pada sebuah film 127 hours saat melewati celah batu sempit ini. Saya sadar saat itu saya membawa pisau lipat buatan Cina dan jaket warna oranye. Sebuah film dari kisah nyata Aron Ralston yang harus mengamputasi tangannya saat terjepit dan terjebak selama 127 jam di Blue John Canyon. Dia terjebak selama 127 jam dengan tangan tertindis batu, sedangkan saya terjebak pada langit kelabu di canyon Nglanggeran.
Siapa tak kenal dengan gunung purba Nglanggeran. Obyek wisata yang mulai marak sejak adanya erupsi Gunung Merapi pada tahun 2006 menjadikan Nglanggeran menjadi obyek wisata wajib saat mengunjungi Gunung Kidul, Yogyakarta. Saat saya mengunjungi lokasi ini, tak ubahnya dengan arus lalulintas ibu kota yang mengenakan sistem buka tutup. Mereka yang ingin mendaki harus bergantian dengan mereka yang turun. Jika ada yang memaksakan diri, apalagi yang memiliki badan lebar pasti akan tersangkut di tengah-tengah lorong.
[caption id="attachment_330466" align="alignnone" width="640" caption="Menikmati Yogya dikala malam lewat ketinggian Nglanggeran (dok.pri)."]
Malam, rinai hujan mulai turun dan sepertinya ingin mencobai kami yang ingin mendaki. Tak ada pilihan lain selain jalan, begitu melihat berpasang-pasang anak baru gede begitu lincah mendaki walau dengan nafas terengah-engah. Untuk mencapai puncak gunung tidak lebih dari 1 jam perjalan, namun sangat sayang jika 60 menit harus selesai malam ini juga.
Di sebuah bibir jurang kami memutuskan untuk mendirikan tenda sekaligus menikmati langit Yogya. 2 buah tenda berdiri walau tidak sempurna, kerena ada kerangka yang patah, namun memberikan kami perlindungan dari angin. Malam ituk kami menikmati hingar bingar Yogya dari ketinggian sambil berpegangan pada kaki tiga yang menyangga kamera.
[caption id="attachment_330469" align="alignnone" width="640" caption="Puncak gunung yang nyaris tak ada celah untuk berpijak (dok.pri)."]
Malam larut dan saatnya merebahkan bada sesaat. Pukul 4 pagi alarm sudah berbunyi dan segera bergegas menuju puncak gunung purba. Kami berangkat pagi-pagi untuk menjemput mentari dan mendapat tempat yang istimewa. Namun, kami kecewa sebab puncak gunung sudah penuh sesak dengan para pengunjung begitupun langit yang nampak kelabu.
[caption id="attachment_330471" align="alignnone" width="640" caption="60 menit hanya dalam beberapa detik saja (dok.pri)."]
Sebuah kamera saya letakan dengan mode "time lapse" untuk merekam pergerakan awan dan matahari yang terbit dengan durasi 60 menit. Puncak Nglangeran penuh riuh dengan pengunjung, dari yang muda hingga yang tua bahkan anak-anak juga tidak mau ketinggalan. Akhirnya 1 jam berlalu dan matahari yang ditunggu tak datang juga, karena bersembunyi dibalik awan tebal.
Mata saya terpaku pada beberapa pengunjung yang nampak susah payah untuk sampai dititik tertinggi. Inilah khas wisata yang merakyat, semua orang bisa mengunjungi dengan segala macam cara. Ada seorang ibu-ibu dengan pakaian berbentuk jubah dan sepatu hak tinggi berusaha keras untuk sampai pada tujuan, walau dengan wajah yang lelah. Ada juga seorang bapak yang nampak terseok-seok dengan sandal selopnya. Remaja putri tak kalah seru, dengan dandanan menor masih saja nekat dan tidak sadar bedaknya luntur oleh keringatnya. Remaja putra tetap saja jalan dengan gagahnya dengan rokok ditangan.