Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kisah Kami di Tepian Rawa Pening

30 Mei 2014   17:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:57 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_339164" align="alignnone" width="640" caption="Sajian keindahan sepanjang perjalanan saat melintas di dusun rawa sari (dok.pri)."][/caption]

"hay kenapa tidak memakai helm..?" tanya seorang bapak yang masuk dalam rombongan bersepeda. "jangankan helm, sepeda saja saya pinjam pak.." itulah jawaban yang muncul saat berpapasan dengan penghobi sepeda. Yang membedakan dengan kami adalah, kami lewat di jalur yang tidak biasa di lewati  para penghobi sepeda. 47,27km jalur yang kami tempuh dan melepas dahaga dengan kelapa muda sambil menikmati kerbau yang berkubang menjelang matahari terbenam. Inilah kisah kami di tepian rawa pening.

Rawa pening menjadi magnet tersendiri karena menyimpan pesona keindahan. Entah berapa kali saya mengelilingi danau alam ini dan tak ada bosannya karena selalu menemukan sudut pandang baru dalam membidik keindahan. Kali ini kami mencoba mencari peruntungan dengan mengayuh sepeda untuk mengelilingi danau indah ini. Salatiga kota terderkat dengan rawa pening menjadi awal dari mengayuh keledai besi ini.

Kami mengawali kayuhan sepeda menuju ambarawa dengan jalur lewat kecamatan Candi dan Banyu Biru. Setelah melewati jalan aspal kami langsung membanting stang menuju jalanan berbatu dan beton. Kami sudah berara di sisi selatan rawa pening. Perkampungan Rawa Sari dan Rawa Boni adalah dusun yang berada di tepi danau. Sepanjang jalan kami menyaksikan  tangkai-tangkai daun eceng gondok yang dijemur di tepi jalan. Inilah bahan baku untuk kerajinan tangan.

[caption id="attachment_339165" align="alignnone" width="640" caption="Tangaki daun eceng gondok yang dijemur menjadi penghasilan tambahan selain dari nelayan dan bercocok tanam (dok.pri.)"]

1401419797419125361
1401419797419125361
[/caption]

Para penduduk di sini memanfaatkan tangkai eceng gondok sebagai usaha sampingan. Usai mencari ikan di danau baik dengan cara mbranjang, memancing, atau menjalan mereka pulang dengan mencari tangkai daun eceng gondok. Ada pula yang menggantungkan sepenuhnya dengan mencari tanaman ini karena memiliki harga jual yang cukup lumayan dan ketersediaannya ada sepanjang masa.

Hamparan sawah kami lewati dengan sisi kiri jalan terlihat gunung gajah mungkur dan telomoyo yang berhimpitan dan di belakangnya berdiri dengan gagah gunung merbabu. Hari ini kami cukup beruntung karena langit begitu cerah dan hanya awan tipis yang melintas di atas kepala kami. Sengatan matahari tak kami hiraukan karena sayang untuk melewatkan keindahan yang mengelilingi kami.

[caption id="attachment_339167" align="alignnone" width="640" caption="Sejenak kami melepas lelah sambil menikmati imaji alam (dok.pri)."]

1401419875194297680
1401419875194297680
[/caption]

Kami kembali tak hentinya mengayuh sepeda. Sebuah papan petunjuk bertulisakan "candi dukuh" menghentikan kami dan spontan kami mengikuti tanda panah tersebut. Kami terpukau melihat pemandangan menuju candi duku. Sisi kakan kiri kami adalah berderet pohon kelapa yang rimbun dan hamparan sawah yang menghijau. Lokasi peninggalan sejarah ini sepertinya tidak banyak dikunjungi. Jalan setapak yang licin memaksa kami menitipkan sepeda di rumah penduduk lalu  meneruskan langkah dengan jalan kaki.

[caption id="attachment_339168" align="alignnone" width="640" caption="Candi dukuh berdiri di sebuah bukit di tepi rawa pening. (dok.pri)."]

14014199311235972144
14014199311235972144
[/caption]

Jalan berundak yang licin karena sudah diselimuti lumut membuat kami harus hati-hati. Akhirnya di atas bukit kami menemukan candi yang dimaksud. Candi dengan kubah yang sudah tidak utuh lagi dan beberapa reruntuhan yang ada di pelatarannya. Tidak banyak infrormasi yang kami dapat dari candi ini. Saya hanya mengamati bahwa candi ini mirip sekali dengan candi-candi hindu dengan model relief dan bentuk bangunannya. Namun saya tidak berani berspekulasi, yang pasti ada peninggalan sejarah di tempat ini yang tidak banyak orang ketahui.

Tidak terasa sudah hampir 15km kami mengayuh sepeda. Saatnya melepas dahaga dengan menenggak air kelapa muda. Di obyek wisata bukit cinta kami melepaskan penat sambil menikmati segarnya air degan. Bukit cinta kini sudah menata dirinya dengan penambahan fasilitas dan bangunan barunya. Pintu gerbangnya begitu megah menyambut para tamu untuk menikmati pesona baru klinting yang meringkuk melingkari bukit.

Saatnya melanjutkan perjalanan menuju kota penuh sejarah perjuangan, Ambarawa. Inilah kota dengan basis militer yang kuat. Kota ini dulu menjadi kekuatan militer pada masa penjajahan belanda dan jepang. Di tengah kota berdiri batalyon kavaleri 2 tank. Badak-badak besi berjajar rapi di garasi yang bisa disaksikan dari tepi jalan. Berdiri dengan gagah patung panglima Sudirman. Sesaat kemudian kami melewati museum kereta api ambaraw yang kini masih digunakan yang konon akan direvitalisasi kembali. Jalur ambarawa-gubug-purwodadi-semarang-solo akan dihidupkan kembali, tidak membayangkan bagaimana kereta api akan bersliweran di kota mungil ini.

[caption id="attachment_339176" align="alignnone" width="640" caption="Sesaat sambil menikmati ceceran surga itu (dok.pri)."]

1401420768150073550
1401420768150073550
[/caption]

Kami memutuskan untuk beristirahat di goa maria kerep. Tempat yang teduh, sejuk, damai, sepi dan nyaman untuk melepas penat usai menempuh 23km yang melelahkan. Sepiring nasi pecel dan pisang rebus mengisi perut kami untuk menggantikan energi yang sudah terkuras habis. Kebetulan kami datang bersamaan dengan peringatan kenaikan Isa Almasih, sehingga tempat ini banyak umat yang beribadah. Kamipun sesaat terlelap dalam lelah dan penat yang begitu nikmat.

Tidak terasa matahari sudah semakin condong ke sisi barat. Keledai besi kembali kami kayuh untuk menuju tuntang, yakni sisi timur dari rawa pening. Sepanjang jalani kami menyaksikan rona danau yang indah dan membuat kami semakin bersemangat untuk terus mengayuh pedal. kami memutuskan untuk melewati jalan kampung bahkan jalan setapak agar sedekat mungkin dengan bibir rawa pening.

[caption id="attachment_339177" align="alignnone" width="640" caption="Suasan tepian rawa pening yang sayang untuk dilewatkan (dok.pri)."]

1401420838614476224
1401420838614476224
[/caption]

Kembali tubuh ini lelah dan saatnya menambah pasokan energi. Kami menuju tepian danau di dusun kelurahan yang menjadi randevous para pemancing. Segelas es teh dan beberapa pisang goreng menjadi sajian kami sambil menikmati keindahan rawa pening dari sisi timur. Seluas mata memandang hanya hamparan danau, bukit dan gunung-gunung. Saya mengatakan "dulu Tuhan memberikan repihan taman eden di sini".

Cahaya sang surya semakin menghangat dan semilir angin meninabobokan kami. Saatnya meneruskan perjalanan beraharap kami tidak kemalaman di jalan. Jalan makadam dan setapak kami libas walau beberapa kali harus terjungkal karena banyak lobang. Kami hanya tertawa riang saat ada rekan yang terjatuh atau kakinya terperosok dalam kubangan lumpur sambil melihat sepati yang sudah mirip adonan tanah sawah.

[caption id="attachment_339175" align="alignnone" width="640" caption="Rute yang sudah kami lewati, data diunduh dari endomondo.com (dok.pri)."]

1401420711199301160
1401420711199301160
[/caption]

Sapa ramah penduduk setempat membuat kami semakin bersemangat. Tak henti-hentinya saya melihat peta digital dalam GPS agar kami tetap berada di jalur yang benar. Tidak terasa roda sepeda kami sudah menembus angka 40km dan artinya masih beberapa km lagi agar kami bisa keluar dari rawa pening. Jalan yang sempit kadang membuat kami saling bernegosiasi, apakah kami yang minggir atau petani yang mengalah.

Kali ini hadangan di depan kami tidak bisa di ajak berkompromi. Badan bongsor, mata merah dengan tanduk melingkar tidak bisa dihindari dan memaksa kami harus berhenti dan menepi. Biarlah para mahesa ini berjalan tanpa ada rintangan daripada harus di seruduk. Kamipun lega saat melihat para kerbau ini melewati kami. Tidak dinyana mereka melebarkan senyum seolah sambil berkata "mari mandi" sambil memicingkan mata dan menutup hidung usai mencium aroma tubuh kami. Merekapun berkubang di sungai sambil memakan reruputan.

[caption id="attachment_339174" align="alignnone" width="640" caption="Merekapun berkubang usah menghadang kami (dok.pri)."]

1401420635620344835
1401420635620344835
[/caption]

akhirnya kami keluar juga dari jalan yang panjang dan melelahkan. 47,27km sudah kami tempuh dengan jalan yang tidak normal. Rasa lelah yang kami dapat terbayar lunas dengan keindahan alam yang tersaji sepanjang jalan. Akhirnya kami diberi imaji berupa tenggelamnya sang surya di sisi barat bumi. Cahaya merah merona mengakhiri perjalanan ini dan berharap kami akan kembali lagi untuk menikmati ceceran firdaus di bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun