[caption id="attachment_339164" align="alignnone" width="640" caption="Sajian keindahan sepanjang perjalanan saat melintas di dusun rawa sari (dok.pri)."][/caption]
"hay kenapa tidak memakai helm..?" tanya seorang bapak yang masuk dalam rombongan bersepeda. "jangankan helm, sepeda saja saya pinjam pak.." itulah jawaban yang muncul saat berpapasan dengan penghobi sepeda. Yang membedakan dengan kami adalah, kami lewat di jalur yang tidak biasa di lewati  para penghobi sepeda. 47,27km jalur yang kami tempuh dan melepas dahaga dengan kelapa muda sambil menikmati kerbau yang berkubang menjelang matahari terbenam. Inilah kisah kami di tepian rawa pening.
Rawa pening menjadi magnet tersendiri karena menyimpan pesona keindahan. Entah berapa kali saya mengelilingi danau alam ini dan tak ada bosannya karena selalu menemukan sudut pandang baru dalam membidik keindahan. Kali ini kami mencoba mencari peruntungan dengan mengayuh sepeda untuk mengelilingi danau indah ini. Salatiga kota terderkat dengan rawa pening menjadi awal dari mengayuh keledai besi ini.
Kami mengawali kayuhan sepeda menuju ambarawa dengan jalur lewat kecamatan Candi dan Banyu Biru. Setelah melewati jalan aspal kami langsung membanting stang menuju jalanan berbatu dan beton. Kami sudah berara di sisi selatan rawa pening. Perkampungan Rawa Sari dan Rawa Boni adalah dusun yang berada di tepi danau. Sepanjang jalan kami menyaksikan  tangkai-tangkai daun eceng gondok yang dijemur di tepi jalan. Inilah bahan baku untuk kerajinan tangan.
[caption id="attachment_339165" align="alignnone" width="640" caption="Tangaki daun eceng gondok yang dijemur menjadi penghasilan tambahan selain dari nelayan dan bercocok tanam (dok.pri.)"]
Para penduduk di sini memanfaatkan tangkai eceng gondok sebagai usaha sampingan. Usai mencari ikan di danau baik dengan cara mbranjang, memancing, atau menjalan mereka pulang dengan mencari tangkai daun eceng gondok. Ada pula yang menggantungkan sepenuhnya dengan mencari tanaman ini karena memiliki harga jual yang cukup lumayan dan ketersediaannya ada sepanjang masa.
Hamparan sawah kami lewati dengan sisi kiri jalan terlihat gunung gajah mungkur dan telomoyo yang berhimpitan dan di belakangnya berdiri dengan gagah gunung merbabu. Hari ini kami cukup beruntung karena langit begitu cerah dan hanya awan tipis yang melintas di atas kepala kami. Sengatan matahari tak kami hiraukan karena sayang untuk melewatkan keindahan yang mengelilingi kami.
[caption id="attachment_339167" align="alignnone" width="640" caption="Sejenak kami melepas lelah sambil menikmati imaji alam (dok.pri)."]
Kami kembali tak hentinya mengayuh sepeda. Sebuah papan petunjuk bertulisakan "candi dukuh" menghentikan kami dan spontan kami mengikuti tanda panah tersebut. Kami terpukau melihat pemandangan menuju candi duku. Sisi kakan kiri kami adalah berderet pohon kelapa yang rimbun dan hamparan sawah yang menghijau. Lokasi peninggalan sejarah ini sepertinya tidak banyak dikunjungi. Jalan setapak yang licin memaksa kami menitipkan sepeda di rumah penduduk lalu  meneruskan langkah dengan jalan kaki.
[caption id="attachment_339168" align="alignnone" width="640" caption="Candi dukuh berdiri di sebuah bukit di tepi rawa pening. (dok.pri)."]
Jalan berundak yang licin karena sudah diselimuti lumut membuat kami harus hati-hati. Akhirnya di atas bukit kami menemukan candi yang dimaksud. Candi dengan kubah yang sudah tidak utuh lagi dan beberapa reruntuhan yang ada di pelatarannya. Tidak banyak infrormasi yang kami dapat dari candi ini. Saya hanya mengamati bahwa candi ini mirip sekali dengan candi-candi hindu dengan model relief dan bentuk bangunannya. Namun saya tidak berani berspekulasi, yang pasti ada peninggalan sejarah di tempat ini yang tidak banyak orang ketahui.