[caption id="attachment_345135" align="alignnone" width="640" caption="Puluhan pasang mata menatap tanpa kedip. Inilah barisan goni karya Samsul Arifin dalam pameran seni Yogyakarta 2014 di Taman Budaya, Yogyakarta (dok.pri)."][/caption]
Mata adalah jendela hati, begitu orang berkata untuk mengungkapkan sebuah kejujuran. Saya diam terpaku antara ketakutan, tertawa terbahak-bahak, merinding, senyum simpul, marah, dan banyak kata yang tidak bisa terucap saat melihat puluhan pasang mata menatap saya. Keduda mata saya beberapa kali terpejam seolah tak percaya, tetapi mereka menatap saya tanpa berkedip dan menyiratkan beragam pesan. Tatapan mata mereka bak trimatra purwarupa kehidupan yang diecawantahkan dalam bentuk maha karya. Inilah hasil tangan dingin Samsul Arifin yang dipamerkan di pameran seni yogyakarta, di gedung taman budaya.
Di kursi belakang saya menerawang ke siisi bus kota yang tak lebih dari 4 penumpang. Di luar sana begitu padat dengan kendaraan dan bus yang saya tumpangi tergencet diantara roda dua, empat bahkan lebih. Yogyakarta memang kota unik, satu sisi bus kosong melompong sedang sisi lainnya sepeda motor bermanuver mencari peluang jalan paling cepat. Ah kota gudeg kini tak lagi berisi nangka muda saja, tetapi menu asal jepang jauh lebih banyak saat saya melihat andong dan becak tak lagi mendapat tempat.
[caption id="attachment_345137" align="alignnone" width="640" caption="Bus kota yang kosong, begitu kontras dengan kemacetan diluar saya (dok.pri)."]
Akhirnya bus yang sedari tadi tidak berhasil menarik penumpang berhasil mengeluarkan saya dari kemacetan dan menghantarkan saya di taman pintar. Namun tujuan saya adalah taman budaya, atas ajakan seorang kawan yang baru saja memberikan ide hendak kemana jika di Yogyakarta. Teman yang sebenarnya sudah berulang kali keluar masuk tempat ini saya paksa untuk masuk kembali menikmati suguhan maharkarya pecinta seni.
[caption id="attachment_345138" align="alignnone" width="640" caption="Pintu gerbang sebelum memasuki lorong pameran. Sapa ramah penjaganya mengantarkan kami ke pintu masuk yang penuh dengan toleransi untuk berekspresi (dok.pri)."]
Tiket seharga 10ribu perak kami tebus agar bisa masuk dalam lorong-lorong pameran. "mohon jaga jarak, tetap di luar garis dan jangan menggunkan flash" begitu kata mba penjaga stand mengingatkan. Baru kali ini saya benar-benar masuk ruangan pameran lenggang kangkung sebab aturan yang memberikan toleransi yang besar bagi para pengunjung untuk berapresiasi. Di sela-sela tongsis para cewek abg saya mencoba menyelinap masuk di sela-sela lorong. Lampu-lampu bernuansa hangat menambah gairah untuk menikmati mahakarya yang luar biasa.
Sejenak saya melongok pada sebuah kotak kayu yang terdapat jendela intip. Kembali saya teringat pada karya Samsul Arifin di lapangan depan, sebab kembali mata-mata itu mengawasi setiap gerak-gerik dari segala penjuru. Sebuah karya seni yang unik, aneh dan nyleneh menurut saya. Kebebasan berkreasi benar-benar tercurah ditempat ini. Pesan sosial, moral, agama bahkan hingga politik semua tertumpah.
[caption id="attachment_345139" align="alignnone" width="640" caption="Karya seni yang unik, nyleneh dan aneh (dok.pri)."]
Saya berdiri pada sebuah ruangan yang gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu dan kipas angin besar yang yang sedari tadi meniup beberapa bendera berwarna merah. Suara kelebat kain bendera benar-benar memberikan nuansa yang menyeramkan, menakutkan, kesepian dan penuh tanda tanya. Bagaimana tidak, ruangan tersebut adalah purwarupa dari nasib Widji Tukul yang saat ini entah dimana rimbanya. Nasibnya bak bendera yang terus di hembus angin, terombang ambing penuh ketidak pastian. Yang pasti semangat perjuangannya akan terus berkibar dengan gagah berani laksawa warna merah yang tak pudar.
[caption id="attachment_345140" align="alignnone" width="640" caption="Pengunjung yang menikmati mahakarya tentang dinamika politik tanah air (dok.pri)."]