[caption id="attachment_345543" align="alignnone" width="640" caption="Dua bauh perahu kayak menghiasi pantai Saleo (dok.pri)."][/caption]
"ular.. ular.. ular..." jerit anak-anak yang mandi di pantai. Mereka bukannya lari, malah mengejar sesosok hewan tak berkaki dengan belang hitam putih yang menyelinap di sela-sela padang lamun. Saya merinding juga, gegara terlalu banyak mengonsumsi tayangan hewan liar di televisi berlangganan. Ular laut (Hydrus bicolor) konon katanya memiliki bisa 12kali lebih kuat dari ular Cobra, itulah yang membuat saya takut. Namun anak-anak di sini begitu riangnya karena mereka belajar dari alam bagaimana membelai hewan ini. Pantai Saleo di Raja Ampat memberikan pelajaran dari anak-anak kecil.
Saleo demikian nama pantai ini diberikan. Berjarak sekitar 10Km dari kota Waisai, ibu kota Raja Ampat. Jalan berliku, naik turun menjadi akses menuju Saleo karena melewati pesisir pantai dengan kontur berbukit-bukit. Perjalanan  akan melewati pantai waiwo dan bandara tepat di ujung landas pacunya. Jalan-jalan disini baru saja dibangun sehingga masih nampak material yang berserakan.
[caption id="attachment_345544" align="alignnone" width="640" caption="Ular laut yang di kejar anak-anak saat melintas di sela-sela lamun. Ular ini berbisa tinggi, namun saat di darat tidak seagresif saat di laut (dok.pri)."]
Sebuah papan petunjuk berukuran kecil mengarahkan pada jalan tanah untuk masuk menuju kawasan pantai Saleo. Sepintas dari tepi jalan nampak sepi yang ada hanya semak belukar saja. Akhirnya jajaran pohon kelapa menjadi zona intertidal yakni batas antara daratan dengan pesisir. Hamparan pasir putih membentang dari ujung ke ujung dan jauh disana lutan luas dan terlihat Pulau Suandarek. Di sebuah gazebo sejenak melepas lelah sambil melihat anak-anak setempat bermain di cerukan-cerukan karang, kebetulan air laut sedang surut.
Kano berwarna-warni berjajar rapi di tepian pantai menanti para pengunjung yang ingin memanfaatkannya. Ada pula perahu-perahu bercadik milik nelayan yang tergeletak begitu saja di atas pasir putih. Di ujung pantai nampak speed boat juga terdampar, karena laut yang surut. Batas pantai dan lautan nampak menghijau padang lamun, begitu juga dengan karang-karang yang berwarna kehitaman.
[caption id="attachment_345545" align="alignnone" width="640" caption="Di seberang nampak pulau saunek (dok.pri)."]
Rasa penasaran membuat kaki ini berjalan menghampiri anak-anak pantai ini untuk melihat apa gerangan yang mereka lakukan. Ternyata anak-anak ini sedang mencari  kerang yang menempel di batuan karang. Ada juga yang mencari ikan-ikan karang yang berukuran kecil dengan warna-warni yang mencolok. Sepertinya mereka hapal betul dimana ada kerang, ikan dan mahluk-mahluk laut lainnya yang terjebak di air surut.
Ada seorang ibu yang sedari tadi berendam di perairan yang tak begitu dalam. Tangan kiri memegang keranjang dan tangan kanan meraba-raba didasar perairan. Benda mirip sosis dia dapatkan dan saya tak mengerti benda apa gerangan. "anak ini telur cumi-cumi (Octopus sp), nanti kita pelihara supaya menetas" kata ibu tersebut usai saya tanya. Malu teramat sangat, ilmu biologi saya belum ada apa-apanya. Telur-telur mahluk berlengan delapan inipun dimasukan dalam kotak mirip karamba yang nantinya akan dijadikan kandang penetasan.
[caption id="attachment_345547" align="alignnone" width="640" caption="Seorang anak yang sedang bermain di pantai yang saat itu sedang surut (dok.pri)."]
Padang lamun (sea grass) adalah ekosistem yang unik. Hampir seluruh perairan di saleo tertutup oleh padang lamun yang menjadi indikator kondisi perairan yang masih baik. Padang lamun menjadi makanan bagi hewan-hewan herbivor seperti ikan duyung (dugong), selain itu juga digunakan untuk tempat hidup oleh beberapa jenis alga/ganggang. Udang, kerang, ikan acapkali menggunakan lamun sebagai tempat perlindungan, mencari makan dan meletakan telur-telurnya. Bisa di artikan banyak biota yang mengkolonisasi padang lamun sebagai sebuah ekosistem.
Senjapun datang, namun bukan semakin sepi tetapi semakin ramai suasana pantai ini. Alunan musik di putar kencang oleh pengelola pantai semakin menambah semarak suasana pantai ini. Lambaian tangan seorang pengelola memaksa saya mendekat dan harus menikmati jamuan tanda persaudaraan. Makan siring pinang, demikian budaya Papua yang hingga saat ini masih terus ada. Setangkai bunga sirih jantan (Piper betle) yang dicocol dengan kapur dari gerusan kerang-kerang laut menjadi tahapan pertama dalam makan siring pinang. Setelah itu baru buah pinang (Areca catechu) dikupas lalu dikunyah kulitnya. Air liurpun berubah menjadi merah dan dimulailah menikmati sensasi menyirih. Rasa pahit, sepat namun rahang ini enggan berhenti untuk mengunyahnya, seperti rasa addiktif.
[caption id="attachment_345548" align="alignnone" width="640" caption="Pantai Saleo salah satu tujuan wisata di Waisai dengan segala pesonannya (dok.pri)."]
Rona senja semakin menjadi-jadi tak kala sang surya semakin condong ke barat. Mungkin saat yang ditunggu-tunggu, tetapi ada daya rintik hujan mulai berdatangan. Raja ampat kadang tak kenal musim, kapan saja bisa datang hujan dan suasana bisa berubah. Saatnya kembali ke gazebo dan sambil "crot" meludahkan ludah merah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H