[caption id="attachment_354332" align="aligncenter" width="538" caption="Bintang laut nampak terdiam di perairan antara pulau jefman darang sambungannya. Saat air surut bisa ke pulau sebelahnya dengan jalan kaki (dok.pri)."][/caption]
Saya tidak membayangkan bagaiman jika saya berdiri di landas pacu pesawat sebelum tahun 2004. Pasti saat itu saya akan ditangkap oleh petugas bandara, tetapi kali ini saya bebas mau apa saja di landas pacu pesawat sepanjang 1,8km. Benar saya sedang berada di pulau Jefman, distrik Salawati, kabupaten Raja Ampat. Pulau ini menjadi saksi akan sebuah kejayaan karena menjadi bandara pertama di papua bagian barat. Bandara jefman terakhir beroprasi pada tahun 2004 dan setelah itu pindah di bandara Dominik Eduard Osok di Sorong. Tak hanya cerita landasan bandaranya saja, tetapi pesona alam dan dunia bawah airnya begitu memincut saya untuk berlama-lama di sana.
[caption id="attachment_354336" align="aligncenter" width="538" caption="Pulau jefman dalam peta. Nampak landas pacu pesawat membelah pulau tersebut (google earth dan osm.org)."]
Pulau Jefman berjarak 16,7km jika ditarik garis lurus dari pelabuhan Sorong. Akes menuju pulau jefman dengan menggunakan kapal motor dengan mesin 40Pk dengan waktu tempuh sekitar 1 jam pelayaran. Ada 2 kali jadwal penyebrangan, yakni pukul 8 pagi dari Jefman dan 2 siang dari Sorong. Sekali menyebrang dikenakan tiket sebesar Rp 50.000,00. Jika terlambat maka bisa mencarter 1 unit kapal motor dengan harga antara 300-500 ribu sekali jalan. Perlayaran menuju Jefman akan melewati 2 buah pulau yakni, pulau Doom dan Soom yang keduanya secara administratif masuk kota Sorong.
Senja itu saya berdiri duduk disebuah bekas dermaga yang sudah tidak terpakai. Pulau jefman sisi barat memberikan pesona dikala sang surya akan beranjak menuju peraduannya. Debur ombak mengalun pelan yang saat itu laut sedang dalam keadaan pasang. Semilir angin laut menambah suasana semakin hangat seiring rona merah yang semakin merekah. Nampak siluet nelayan yang mulai berangkat menuju sero untuk melihat atau mengambil hasil tangkapan ikan.
[caption id="attachment_354338" align="aligncenter" width="538" caption="Senja yang selalu di nanti para pecinta pemandangan. Suasa di sisi barat pulau jefman (dok.pri)."]
Di bawah pohon ketapang saya harap-harap cemas untuk menyaksikan terbenamnya matahari. Saat-saat yang dinanti oleh para pejalan yang sedari tadi menyiagakan kamera dengan setingan yang sedemikian rupa agar momen indah tersebut tidak terlewatkan. Senja itu saya ditemani rekan-rekan seperjalanan dan pak Is seorang penduduk Pulau Jefman. Kepulan asap rokok dari pak Is menandakan, dia begitu menikmati senja ini dari tempat yang jaraknya kurang dari 30 meter dari pintu rumahnya. Benar sekali, rumah pak Is terletak di tepi pantai yang setiap sore bisa menikmati senja.
Saya begitu iri melihat Upi, anak dari pak Is yang masih duduk di bangku kelas 6 SD begitu lincah mendayung sampan. SIluet dia begitu indah saat menutupi matahari yang semakin meradang warnanya. Saat-saat yang penuh emosi, dimana degub jantung, tarikan nafas dan gerakan tangan memencet tombol rana dan tangan kiri memutar fokus lensa. Perpaduan yang apik untuk bisa menggambar suansa senja. Beberapa gambar sudah saya dapat, lalu saya memutuskan untuk tidak lagi memotret. Duduk di sebelah pak Is yang sedari tadi terus saja menghisap rokoknya sambil menikmati senja bersama, sedang Upi masih sibuk menguras sampanya yang mulai penuh dengan air.
[caption id="attachment_354339" align="aligncenter" width="538" caption="Foodporn, atau kebiasaan memotret makanan sebelum disantap lalu mengunggahnya ke dunia maya. Makan yang unik malam itu, berupa ikan dan cumi bakar disantap dengan sukun goreng ditemani segelas teh panas (dok.pri)."]
Sang surya pun sudah menghilang untuk melesat menuju titik nadir dan saya bersama rekan sudah di panggil pak Is untuk masuk kedalam rumahnya. Malam ini kami akan menginap di rumahnya. Suara angin laut, deburan ombak dan nyanyian burung menjadi suara latar yang tidak pernah saya temui. Kadang bulu kudu berdiri saat mendengar suara lolongan anjing saat hari gelap, namun bagi masyarakat yang tinggan di pulau Jefman itulah hiburan malam.
Makan malam kami kali ini sangat istimewa. Ibu Is sudah menyiapkan teh panas, ikan bakar, cumi bakar, dan sukun goreng. Menu yang unik karena makan sukun dengan ikan, dan inilah istimewanya. Pulau Jefman terkenal dengan tanaman sukun (Arthocarpus comunnis), yang dulu sering dijadikan buah tangan para penumpang pesawat saat bandara masih di sini. Malam ini sukun goreng menemani kami untuk bersantap ikan. "eit jangan dipotong ikannya, pamali ayo ambil semuanya dan habiskan" kata pak Is pada teman saya yang hendak memotong ikan Gutila besar. Akhirnya dia harus menerima kenyataan mengabiskan ikan selebar hampir 2 telapak tangan.
Pagi menyongsong tapi cuaca kurang bersahabat. Angin dan gerimis mengurungkan niat untuk memotret matahari terbit dari sisi timur pulau Jefman. Saya hanya berjalan-jalan saja di sepanjang landas pacu pesawat sambil melihat burung-burung camar yang berterbangan. Seorang bapak dan anaknya sepertinya ikut menikmati pagi ini dengan bersepeda di sepanjang jalan pesawat, sebuah kebahagian yang tidak bisa diungkapkan.
[caption id="attachment_354341" align="aligncenter" width="538" caption="Landas pacu pesawat terbang yang kini menjadi lahan kosong (dok.pri)."]
Akhirnya saya berjalan di ujung landasan yang berbatasan dengan pulau di sebelahnya. Konon dulu pulau itu adalah satu daratan dengan Jefam, karena dibangun bandaran maka dipisahkan dengan cara dibom. Pada saat surut bisa berjalan ke pulau sebelah, namun sayang saat itu air sedang meti/pasang. Berjalan di pesisir pantai dengan pasir putihnya sambil kaki ini menerabas padang lamun yang nampak menghijau. Ikan-ikan kecil berlarian dan beberapa ikan nampat terjebak di sela-sela karang. Seekor bintang laut nampak terdiam dan sepertinya tahu akan apa yang akan saya lakukan.
Tiba-tiba ada seorang bapak dan anaknya yang mengajak saya untuk menuju sero. Longboat dengan mesin 15pk berjalan pelan menyibak helaian lamun dan sela-sela acropora. Jaring yeng berdiri sepanjang 100m adalah tujuannya. Sore adalah alat tangkap ikan dengan membentangkan jaring sepanjang 100m lalu ujung yang mengarah ke laut dibuat ruang berbentuk lingkaran untuk menampung ikan yang tertangkap. Sistem kerja sero adalah memanfaatkan pasang surut air laut. Saat pasang ikan akan naik ke tepian, lalu saat surut akan kembali ke laut dan saat itula ikan akan masuk dalam jebakan sero dan terkumpul di ujung jaring.
[caption id="attachment_354344" align="aligncenter" width="448" caption="Iwan yang membantu ayahnya untuk membersihkan sero, dan beberpa ikan diberikan kepada saya dengan alasan sedang tidak ada ikan (dok.pri)."]
Sero adalah alat tangkap yang ramah lingkungan. Hanya ikan yang terjebak saja yang akan tertangkap itupun akan dipilih ikan mana saja yang akan diambil, dan sisanya akan dikembalikan ke laut. Pagi ini pak Darwis dan Iwan putranya hanya memeriksa dan membersihkan sero jika ada sampah laut yang masuk. Air yang masih pasang maka ikan belum masuk dalam jebakan sero. pak Darwis menyelam dengan menggunakan kacamata selam buatan tangan dan dengan jaring dia masuk kedasar sero. Beberapa hewan yang terjebak seperti beberapa ikan hias, bintang laut, ikan buntal di jaring dan dikembalikan ke laut. Ikan-ikan tersebut selain mengotori sero, juga tidak memiliki nilai ekonomis sekaligus menjaga kelestarian alam.
"maaf mas tidak ada ikan" kata pak Darwis saat kepalanya menyembul kepermukaan, tetapi jaringnya berkata lain. Jaringnya telah berisi beberapa ikan lema (Rastrelliger kanagurta), ikan samadar, dan gutila. Saya heran, masih saja kondisi tersebut tidak ada ikan, bagaimana jika ada ikan. Konon ceritanya saat musim ikan, jebakan sero sampai tidak muat menampung ikan dan harus di lepaskan sebagian agar bisa diambil. Sayapun mendapat ikan-ikan tersebut secara gratis dan kemudian bingung mau dibuat apa ikan sebanyak ini.
[caption id="attachment_354346" align="aligncenter" width="538" caption="Pembuatan perahu yang mengandalkan naluri dan keakuratan dalam mengukur. Gading perahu dibuat menyusul dan menyesuaikan. Dengan cara ini kapal lebih cepat selesai dibuat (dok.pri)."]
Kekaguman saya akan pulau ini belum usai. Di bawah pohon nyamplungan (Calophyllum tetrapterum) nampak seorang bapak sedang sibuk merakit lambung perahu. Akhirnya saya duduk sambil bertanya-tanya tentang seputar pembuatan perahu. Alangkah terkejutnya saya, saat saya menyadari dia membuat perahu seoalah seperti melukis tanpa sketsa. Dia hanya mengandalkan patokan ukuran saja sambil berimprovisasi. Berbeda dengan teknik pembuatan perahu yang terlebih dahulu membuta gading atau rangka perahu lalu membuat dinding lambungnya. Di sini membuat lambung perahu dulu lalu gading akan menyesuaikan bentuk perahu. Dia menjelaskan semua ada sisi lebih dan kurangnya, tergantung waktu, bahan dan anggaran saja.
Lambaian tangan dari pak Is sudah terlihat dari tengah-tengah lapangan terbang. Nada panggilan untuk mengajak sarapan rupanya dan sesuatu yang tidak bisa ditolak. Menu ikan bakar dan kali ini dengan pisang goreng. Jangan harap di sini ketemu dengan nasi, keran ternyata lebih enak makan ikan bakar dengan sukun atau pisang goreng. Suara deru pesawat yang melintas dan hendak mendarat di sorong sepertinya mengembalikan kenangan masa lalu. Pulau Jefman yang menyimpan kenangan yang penuh kejayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H