[caption id="attachment_354605" align="aligncenter" width="512" caption="Papan peringatan yang melarang menangkap ikan pada hari sabtu dan minggu. Konservasi lokal untuk keseimbangan alam di teluk Maya Libit (dok.pri)"][/caption]
Dalam obrolan dengan seorang relawan dari TNC (The Nature Conservancy) ada sebuah pernyataan yang membuat saya tercengang. "nelayan kita hanya bisa mengambil ikan 0,5% dari 100% tangkapan nelayan asing" perkataan yang terus terngiang-ngiang sambil menyaksikan kampung nelayan yang berjajar di pulau Doom-Sorong. Miris sekali melihat kenyataan ini, harta bawah laut yang terus menerus dikuran oleh orang asing. Seketika itu ada yang berkata "mas lihat, itu kapal dari Filipana yang tertangkap di perairan kita" sambil melihat beberapa kapal penangkap ikan yang terombang-ambing di pelabuhan rakyat kota Sorong.
[caption id="attachment_354606" align="aligncenter" width="512" caption="Kapal nelayan dari Filipina yang ditahan di pelabuhan Sorong (dok.pri)"]
Sangat miris melihat masyarakat lokal yang hidupnya masih dikatakan belum layak, padahal setiap hari mereka berkelana diatas sumber daya laut yang melimpah. Namun, fakta tersebut sepertinya bukan menjadi beban yang berat bagi masyarakat yang tinggal di Teluk Mayalibit. Ada sesuatu yang menarik di sana, karena kearifan lokal lah yang menjadi penjaga kelestarian alam dan kehidupan mereka.
Jika hendak menguras isi teluk mayalibit yang kaya akan hasil laut bukanlah hal yang sulit buat mereka. Ada sebuah pernyataan yang membuat saya terhenyak "bisa saja hari ini kita tangkap ikan banyak, bisa dengan bom, racun, jaring tapi besok kita mau tangkap apa jika ikan habis". Saya termenung di sebuah dermaga yang bertuliskan " ingat sabtu dan minggu kitorang libur lobe supaya lema bebas bertelur dan jadi tambah banyak". Papan peringatan yang ditaati oleh para nelayan di Warsambin.
[caption id="attachment_354610" align="aligncenter" width="512" caption="Susunan batu untuk menjeban ikan yang mengikuti cahaya, salah satu teknik menangkap ikan Balobe (dok.pri)."]
Di teluk mayalibit terkenal dengan Ikan Lema atau ikan kembung yang nama ilmiahnya (Rastrelliger kanagurta). Ikan ini banyak terdapat di teluk mayalibit dan menjadi tangkapan utama oleh nelayan di sana. Harga jual ikan yang perkilo bisa mulau 30 ribu bahkan bisa menembus angka 50 ribu menjadikan ikan ini menjadi obyek buruan saat bulan petang.
Jangan membayangkan mereka berburu dengan cara memancing, atau menjaring, tetapi dengan cara menggiring atau yang dikenal dengan balobe. Balobe adalah teknik menangkap ikan dengan menggunakan sumber cahaya lampu kemudian menggiring ikan ketepian lalu menjebaknya dengan bebatuan yang disusu menyerupai benteng. Ikan-ikan yang terjebak kemudian diambil dan hanya ikan yang besar saja yang diambil, sedangkan yang kecil dikembalikan di laut.
[caption id="attachment_354611" align="aligncenter" width="512" caption="Sasi kepala yang dilakukan oleh gereja (dok.ibu Kuwati)."]
Lantas saya berpikir, sebarapa banyak tangkapan mereka dibandingakan dengan cara modern yang jauh lebih efektif dan hasilnya lebih banyak. Namun pergolakan batin ini sirna tak kala melihat hidup mereka yang sederhana dan selaras dengan alam. Saat bercengkrama, ada yang berkata "jika kita menjaga alam (laut) maka dia kan memberikan kehidupan pada kita". Bisa saja dan benar adanya. Apa peduli nelayan asing yang mencuri ikan-ikan di Indonesia. Mereka menangkap secara besar-besaran setelah kapal mau tenggelam karena muatan baru pulang ke negaranya.
[caption id="attachment_354612" align="aligncenter" width="512" caption="Area sasi di perairan Raja Ampat (dok.Ibu Kuwati)."]
Saya teringat akan sebuah hukum adat yang sangat familiar di tanah Maluku dan Papua. Sasi, demikian nama hukum adat tersebut. Sasi adalah sebuah kesepakatan bersama yang disyahkan secara adat untuk sebuat aturan. Sebagi contoh, kawasan laut ini disasi selama 6 bulan. Maka selama 6 bulan, tidak seorangpun yang boleh dan berani mengusik laut ini sampai pada hari sasi itu dibuka.
Sasi hingga saat ini masih berlalu di daerah Maluku dan Papua. Semula sasi ini adalah aturan adat saja, tetapi saat ini gereja juga melakukan sasi. Tujuan utama sasi adalah pembatasan ekploitasi yang efeknya akan memberikan kesempatan alam ini memulihkan diri. Sasi perairan akan memberikan kesempatan ikan untuk bertelur dan memijah hingga menjadi ikan yang siap tangkap. Sasi hutan, memberikan kesempatan tanaman untuk berkembang dan berbuah sehingga keadaanya tetap bisa lestari.
Tidak ada aturan tanpa sebuah pelanggaran. Konon bagi mereka yang melanggar sasi akan mendapat hukuman secara adat. Ada sisi supranatural dalam sasi dan bagi pelanggarnya maka akan mengalami hal-hal diluar kewajaran. Ada juga pelanggar yang diberi hukuman langsung seperti harus membayar denda adat, atau dipermalukan dihadapan umum dengan cara dipasung.
[caption id="attachment_354613" align="aligncenter" width="512" caption="Teluk mayalibit yang terus dijaga kelestarianya 9dok.pri)."]
Sasi secara tidak langsung adalah bentuk konservasi tradisional yang fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan alam. Aturan yang sudah ada sejak nenek moyang dan kini masih berlaku. Tinggal kini bagaiman peran tua-tua ada mendelegasikan kepada generasi muda, pemerintah menjadi pengayom, LSM dengan aksi konservasi, dan peran pemuka agama dalam konteks religi.
[caption id="attachment_354614" align="aligncenter" width="512" caption="Sasai buka membatasi, tetapi memberi kesempatan alam untuk seimbang agar generasi mendatang bisa menikmati dan melestarikannya. Senyum anak-anak teluk mayalibit harapan agar alam tetap terjaga untuk masa depan mereka (dok.pri)."]
Saya tersadar apalah arti 0,5% hasil tangkapan dibanding rusaknya lingkungan dan timpangnya alam. Walau hanya libur sabtu dan minggu dalam menangkap ikan kembung, setidaknya warga teluk mayalibut sudah memberikan kesempatan alam untuk beristirahat selama 2 hari untuk mengembalikan kebugarannya. Investasi sumber daya alam oleh masyarakat lokal yang menjadi harmoni agar alam tetap menghidupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H