[caption id="attachment_357448" align="aligncenter" width="512" caption="Susana Bandara Nino Aquino di Manila saat pesawt mengalami tunda (dok.pri)."][/caption]
Saat tubuh masih terlelap terdengan panggilan pagi dari resepsionis hotel. Mata yang masih sayup menahan kantuk harus segera bangun padahal arloji masih menunjuk angka 02.30. Air dingin ini segera saya guyurkan untuk mengusir rasa kantuk yang belum juga hilang. Udara dingin kamar hotel begitu terasa namun sirna saat secangkir teh hangat menyesap dalam tubuh. Lampu-lamou di metro manila masih terlihat kerlap-kerlip disapu kabut pagi. Benar saja pagi ini kami harus segera berkemas untuk terang ke Palawan.
Jadwal penerbangan kami adalah pukul 06.00. Artinya pukul 04.00 kami harus sudah keluar dari hotel menuju bandara Nino Aquino. Tepat pukul 04.30 kami sampai di bandara dan segera malaporkan keberangkatan kami. Pagi masih buta, namun penumpang sudah berjejal penuh di bandara terbesar di Filipina. Akhirnya kami mendapat boarding pass untuk terbang dari Manila menuju Puerto Princesa di Palawan.
[caption id="attachment_357450" align="aligncenter" width="512" caption="Hal klasik suasana seperti ini (dok.pri)."]
Kami segera menuju ruang tunggu karena pesawat akan terbang pukul 06.00, namun ada pengunuman bahwa pesawat mengalami keterlambatan selama 2 jam. Waktu yang cukup lama untuk menunggu. Tidak sedikit yang menggerutu karena kondisi yang kurang nyaman ini. Bagi mereka yang biasa dengan situasi ini akan mencari tempat yang nyaman lalu mengeluarkan gawai untuk daring. Bagi yang memiliki kewaspadaan yang tinggi, maka bisa merebahkan badan sambil memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan panggilan pesawat.
2 jam menunggu akhrinya kami dipersilahkan masuk dalam kabin pesawat. senyum ramah pramugara saya hanya bisa membalasa dengan senyum sambil berkata "salamat po". PEsawat philipines air lines akan menerbangkan saya selama 2 jam dari manilan menuju palawan di selatan Filipina. Penerbangan yang sangat sangat menarik karen aka disuguhi pemandangan pulau-pulau Mindora dan Palawan. Akhirnya setelah melewati atas laut Tiongkok selatan pasawat terbang di atas pulau Palawan. Gugusan hutan lebat menutupi hampir seluruh pulau dan terlihat indah karena masih diselumuti oleh halimut tipis.
Mega putih akhirnya dibelah oleh saya pesawat dan sebentar lagi akan mendarat di bandara Puerto Princesa. Bandara yang terletak di tepi pantai terlihat masih sepi karena begitu pesawat mendarat belum ada pesawat lain. Akhirnya kaki menginjak pulau Palawan yang sebelumnya belum sempat saya impikan sebelumnya. Wajah-wajah tak asing terlihat disana, namun bahasa mereka Tagalok atau inggris. Ras melanesia benar-benar membuktikan bahwa kita memang satu nenek moyang yang dipisahkan oleh lautan.
[caption id="attachment_357451" align="aligncenter" width="512" caption="Seorang penenun menjelaskan dari barang mentah hingga proses menjadi sebuah tenunan yang utuh (dok.pri)."]
Tujuan pertama kami adalah di Binuatan. Begitu masuk ruanga ini saya seolah sadeng ada di pulau Timor di NTT manakala melihat mama-mama sedang menenun tais. Binuatan adalah tempat kerajinan tangan dengan cara menenun. Mereka tida menun kain, tetapi rumput yang dikeringkan lalu diberi warna. Benang-benang halus di buat menjadi pengikat tenunan. Alat tenun yang digunakan mirip dengan yang biasa kita lihat. Beraneka macam produk tenunan terlihat di gerai yang terleltak dibelakang. Pengunjung diperbolehkan untuk mencoba menenun yang didampingi oleh karyawan.
[caption id="attachment_357452" align="aligncenter" width="512" caption="Ddi Filipina juga ada Congklak, begitu juga dengan vietnam kata rekan saya (dok.pri)."]
Saya tertarik dengan toko seninya. Beragam barang seni dipajang disini untuk dijual. Saya tertarik pada sebilah papan permainan besar yang ada lobang dan biji-biji yang dibungkus plastik. Di Jawa nama permainan ini adalah dakon, dan ternyata di Filipina juga ada. Saya berbincang dengan teman-teman dari Filipin ternyata cara memainkannya sama, begitu juga dengan teman dari Vietnam. Saya tertarik dengan botol-botol yang ada di sudut ruanga. Ternyata teman saya dari Malaysia sudah duluan membeli. Inilah wine dari jambu Monyet yang dijual sekitar 50peso per botol. Akhirnya sebotol minuman dengan alkohol tak lebih dari 5% menemani pakcik dan paklik untuk menuju bakers Hiil.
Bakers Hills merupakan sebuah tempat yang kusus membuat kue kering di Palawan. Tempatnya yang ada di bukit sehingga di sebut bukit kue kering. Patung Marilyn Monroe yang seksi dengan pakaian warna merahnya. Tempat ini di beberapa sudut terdapat tokoh-tokoh kartun yang dibuat patung beserta dengan pernak-perniknya. Mungkin temat ini lebih cocok buat anak-anak daripada saya yang pencari keindahan alam dan kehidupan jalanan.
[caption id="attachment_357453" align="aligncenter" width="512" caption="Sebuah sudut di bakers hill (dok.pri)."]
Akhirnya setelah bosan kami ditawari Nopia atau kue kering khas Bakers Hill. Teman saya yang lahir, tinggal dan besar di Yogyakarta langsung berkata "in yogya is bakpia" benar nopia memang bakpia. Variasi nipia di sini pada rasa dan warna dan kami dipersilahkan makan sepuasnya sambil melirik teman dari negeri jiran yang masih memegang sebotol wine. Saya lebih tertarik pada Taxicle yang sedari tadi hilir mudik di jalan. Txaicle adalah taksi dari sepeda motor, namun bukan becak motor. Sepeda motor dipasang kabin penumpang di sisi kanan dan bisa dinaiki beberapa penumpang. Sungguh pemandangan yang unik menurut saya, tentunya seloan Jepney yang ikonik buat Filipina.
Perjalanan kami di lanjutkan menuju sebuah rumah makan lokal. Menu makanan yang ditawarkan tak beda jauh dengan di Indonesia, begitu juga dengan rasa. namun ada yang manarik dari makan siang ini. Kami akan diberi tantangan oleh pihak penyelenggara jalan-jalan gratis ini dengan sebuah tantangan. Kami semua harus melakukannya untuk makan makanan khas di sini. Saya berharap semoga tidak pedas.
Tamilok atau cacing bakau, begitu orang Filipina menyebut makanan ini dan menjadi hidangan istimewa sekaligus ekstrim dibeberapa restoran. Batronophorus thoracites, demikian nama ilmiah untuk menyebut cacing bakau. Masyarakat papua ada yang menyebutnya dengan Tambelo, namun familiar dengan cacing bakau. Hewan ini adalah hewan lunak, tidak memiliki tulang belakang dan masih satu kelas dengan tiram (oister). Tidak adanya cangkanglah yang membuat tambelo disebut dengan cacing bakau, padahal berbeda jauh morfologinya dengan cacing yang selama ini kenal.
[caption id="attachment_357455" align="aligncenter" width="512" caption="Hewan lunak sepanjang 30cm harus saya telan bulat-bulat (dok.pri)."]
Mata saya melotot, nafas saya sesak, sebab dalam tenggorokan ini terjebak hewan lunak yang enggan keluar masuk pun tak mau. Orang Jawa bilang "keloloden" yakni posisi makanan susah ditelan antara hendak dimuntahkan atau ditelan. Bukan sembarang makanan yang terjebak di panggal tenggorokan ini, tetapi ini adalah hewan mentah dan masih hidup. Akhirnya keluar juga hewan sepanjang 30cm dan air mata ikut keluar dan pada percobaan kedua saya berhasil menelannya. Tepuk riuh teman-teman mengitari saya dan akhirnya saya makan untuk yang kedua kali dengan panjang yang tak jauh beda. Entah saya yang dikerjai, ditantang atau nasib sial saja.
Tamilok segar yang sudah dicuci bersih langsung dihidangkan dan siap untuk disantap. Aroma amis, bau lumpur, rasa yang kenyal dan liat sangat khas namun memiliki tekstur yang lembut dan licin begitu kira-kira yang dirasakan saat masuk dalam rongga mulut. Cara makannya langsung ditelan bulat-bulat dan jika keloloden, lanjutkan telan atau muntahkan daripada tersedak.
Untuk menghilangkan bau amis, beberapa restoran merendam tambelo terlebih dahulu. Campuran air garam, jahe, dan jeruk nipis mampu memanipulasi amis dan lumpur sehingga membantu saat hendak dikonsumsi. Mungkin tambelo akan terasa mahal saat dimakan dalam kondisi segar, namun para juru masak bisa mengolah menjadi beragama hidangan yang lezat.
[caption id="attachment_357457" align="aligncenter" width="512" caption="sajian unik dari restoran di Filipina (dok.pri)."]
Makana penutup kami diberi halo-halo yakni eksrim dengan campuran bermancam-macam buah. Yang menarik di sini adalah garnis hidangan penutup. Bagi yang tidak terbiasa makan muka bisa merah, atau menutup mata sebelum mencicipnya. Sepotong pisang yang dibuat mirip kelamin laki-laki yang ujungnya di olesi lelehan mentega lengkap dengan 2 buah jeruk nipis di pangkalnya. Siang ini kami tutup dengan makan siang dan selanjutnya perjalanan menuju Honda bay di tumur pawalan, sampai jumpa di Dos Palmas "maraming salamat po".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H