[caption id="attachment_373768" align="alignnone" width="640" caption="Kapur tulis dan papan hitam itu selalu memberikan kenangan mendalam manakala kini semakin tersisih (dok.pri)."][/caption]
Sebuah kerinduan akan aroma dan noda putih dari sebatang kapur berkardus hijau dengan lambang kepala mengenakan toga. Kini goresan putih dalam sebidang papan berlatar belakang hitam atau hijau tua, sudah berganti dengan papan putih dengan tinta beraroma. Dulu papan itu menjadi layar raksasa yang selalu silih berganti manakala penghapus sudah menari-nari dan debu-debu putih berterbangan, tetapi kini sudah bergati dengan slide pada lampu sorot yang bisa di putar berulang kali.
Saya teringat dengan almarhum pak Maat, dia adalah seorang gurung menggambar saat saya masih di bangku SMA. Tangannya yang sudah buyuten begitu lihai menggoreskan kapur putih menjadi sebuah lukisan indah lengkap dengan gradasi gelap terangnya. Saya semakin terpesona dengan gerakan tangannya yang begitu lihai mengajari kami menulis indah di papan tulis dan jika ada yang tahu huruf cetak bernama rugos, beliau bisa menirukannya. Papan hitam itu kini membisu karena sudah berganti papan putih mengkilap dengan sebatang spidol. Menulis indah sudah berubah menjadi ratusan jenis huruf dalam perangkat lunak pengolah kata yang disorotkan dalam mesin proyektor.
Pagi sebelum masuk kelas, tugas ketua kelas adalah ke kantor tata usaha untuk mengambil sejumlah kapur untuk persediaan satu hari. Nama-nama siswa yang piket di dinding kelas harus bersiap menjadi petugas penghapus papan tulis. Siswa dengan postur badan tinggi dan tulisan yang bagus akan menjadi penulis di papan hitam untuk menyalin buku cetak untuk dicatat siswa yang lain saat gurunya berhalangan untuk mendikte. Inilah sebuah proses yang kini sudah lenyap dan tergantikan teknologi.
Ngatmin, salah seorang teman saya dengan postur tinggi dan tulisan terbaik di kelas kami memiliki prestasi yang bagus, padahal dia jarang belajar. Saban hari dia bertuhas menyalin cacatan guru di papan tulis agar siswa lain, mencatatnya. Pulang sekolah dia kembali menyalin tulisan dari catatan teman ke dalam buku tulisnya. Berbeda dengan Novi yang memiliki suara indah dan artikulasi yang bagus, dia menjadi pendikte buku yang mumpuni di kelas. Dengan sabar dia membacakan penggalan-penggalan kalimat dengan suara yang keras dan jelas, agar siswa lain bisa mencatatnya. Itulah keseharian kami dulu di kelas manakala guru tidak mengajar atau berhalangan hadir. Alasan ketidak hadiran sudah digantikan catatan dari guru dan murid tinggal menyalinya lewat proses yang panjang dan melelahkan.
Lain cerita saat guru hadir, berbatang-batang kapur akan habis menghiasi papan tulis. Siswa harus adu cepat sebelum guru menghapus goresan kapur. Siswa di tuntut cepat dan harus memahami apa yang ditulis guru dan celakalah yang terlambat mencatat karena tidak bisa ditampilkan ulang. Beberapa warna seperti merah, kuning, hujau, cokelat akan menjadi pelengkap dalam menuangkan pikiran guru dalam goresan-goresan debu halusnya. Dengan sigap murid berupaya menerjemahkan dalam pikiran lalu dipindah dalam kertas yang hanya diwakili oleh pulpen bertinta hitam, merah dan biru.
Kini kenangan itu sirna karena tak ada lagi yang menarikan batangan kapur dalam papan tulis berdebu atau mereka yang ngantuk siap-siap mukannya putih gegara di lempar penghapus. Kini jaman sudah berubah manakala guru dituntut menulis dalam format digital dan di ajarkan dalam proyektor dalam bentuk presentasi. Debu-debu berterbangan tidak ada lagi, karena kini berubah menjadi tinta spidol. Saya kurang begitu yakin ada yang bisa menggambar gradasi gelap terang dengan spidol dan nuansa itu sangat susah. Begitu juga dengan tulisan indah yang sangat susah karena goresan kapur berbeda dengan goresan tinta.
Ini hanyalah nostalgia saja dimana dulu ada sebuah proses belajar yang benar-benar kotor oleh debu putih. Kini proses tersebut sudah bergati dalam bentuk-bentuk file digital yang lebih praktis, ringkas dan jelas. Saat siswa harus menyalin catatan dari guru, lalu kerja berat itu ringan dengan adanya mesin foto kopi, dan kini semakin ringan dengan komputer dan internet. Bertukar catatan tak lagi memainkan tinta atau pergi ke tukang foto kopi, cukup memainkan jari dalam seperangkat gawai pintar.
Sebuah tantangan guru yang tidak harus kembali pada masa lalu. Pendidikan adalan sebuah proses, bagaimana siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak ada isi menjadi berprestasi. Tentu saja tidak ada yang instan, tetapi butuh sebuah proses yang panjang. Dahulu proses-proses tersebut lewat debu-debu kapur cerdas, kini dengan perangkat-perangkat dengan kecerdasan buatan. Seharusnya guru akan sangat terbantu, tetapi acapkali terlena dengan segala kemudahan.
Saat dulu guru hanya menerima bahan ajar dan menjadi makelar ilmu, kini saatnya guru menjadi sumber ilmu. Guru yang sebelumnya menjadi penyalur pengetahuan, kini saatnya menjadi sumber ilmu pengetahuan. Guru yang sebelumnya hanya memberi contoh, saatnya menjadi contoh sekaligus inspirasi bagi siswa. Beberapa teman yang berprofesi menjadi guru acapkali mengeluh saat saya menyinggung hal ini. Mereka mengajar sudah seperti dikerjar setoran, karena materi yang seolah tak ada habisnya dan siswa yang harus dituntut untuk bisa. Selain membawa siswa ke gerbong kelulusan, guru juga menjadi tim sukses dalam pemcapaian gengsi antar sekolah.
Pertanyaanya kapan guru mulai berkarya..?. "entahlah, yang penting tugas dan tanggung jawab saya selasai" dengan nada pelan jawab teman saya yang menyiratkan tanda kelelahan. Saya hanya bercerita, "teman dulu engkau jika di suruh menulis di papan tulis begitu cekatan, begitu pulan dalam menyalin catatan. Saya senang dengan tulisan karanganmu dalam mading sekolahan. Saya kagum dengan ide-idemu dalam classmeeting lalu engkau membuat skenario drama. Saya juga tertarik dengan karya ilmiah remaja yang kau tulis begitu menarik dan dibuat dalam sebuah poster. Kemana kemapuanmu itu, padahal sekarang banyak media untuk menampung ide-ide cerdasmu itu. Saya teringat akan novel karya Andrea Hirata yang menceritakan kecerdasan lintang, namun sayang kecerdasan itu hilang ditelan dah untung ada ikal yang bisa menggoreskan tintanya agar orang tahu ada eisntein dari belitong". Belajar dari Tanoto Foundation bisa memberikan inspirasi bagai mana guru bisa berkreasi membuat siswa berprestasi.