[caption id="attachment_378533" align="alignnone" width="640" caption="Seekor babi lari terbirit-birit karena dihalau pedagang gara-gara merangsek masuk di jajaran sayur yang dijajakan (dok.pri)."][/caption]
Secara definitif pasar bisa diartikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dengan menganut hukum penawaran dan permintaan. Bagaimana jika definisi tersebut ditambah dengan bertemunya keluarga besar, kepala suku dan pengikutnya serta turis domestik dan mancanegara dan beberapa fotografer untuk berwisata. Mungkin definisi pasar tersebut hanya cocok disematkan di Pasar Jibama, Wamena di Lembah Baliem-Papua. Sebuah pasar tepat di jantung Bumi Cenderawasi yang benar-benar unik dan eksotik dan berbeda dengan pasar-pasar pada umumnya.
Pasar biasanya penuh dengan sekat-sekat untuk membedakan komoditi jualannya yang disebut dengan los. Los tersebut seperti; daging, sayur, buah, perabotan, pakaian, elektronik, sembako dan lain sebagainya. Los tersebut memudahkan para pembeli untuk mencari barang keperluannya dan tinggal memilih mana yang hendak diambil. Di Pasar Jibama, sudah dibagi los tetapi pedagang acapkali tetap membandel.
[caption id="attachment_378534" align="alignnone" width="640" caption="Penjual yang unik, karena mereka berjualan di bawah meja dengan berbagai alasan (dok.pri)."]
Ada mereka yang membuka lapak gerai ponsel bekas di antara pedagang sayur. Ada juga yang menjajakan ikan air tawar di samping penjual makanan ringan. Di sela-sela tepian penjual ikan ada juga dijajakan aneka bebuahan hasil alam Lembah Baliem. Jika dilihat akan terasa semrawut dan tidak teratur, tetapi bagi mereka adalah hal yang biasa dan bagi para turis adalah hal yang unik.
[caption id="attachment_378535" align="alignnone" width="640" caption="Seorang pedagang ponsel bekas yang memanfaatkan meja penjual sayur karena tidak digunakan (dok.pri)."]
Biasanya orang-orang berbelanja ke pasar akan berpakaian ala kadarnya yang penting sopan. Pasar adalah tempat yang bau, becek, dan kotor sehingga sangat sayang mengenakan pakaian yang bagus. Di Jibama juga demikian, tetapi acap kali ditemukan beberapa pengunjung pasar mengenakan pakaian kebesaran mereka. Jangan membayangkan mereka mengenakan jubah, mahkota, dan perhiasan yang mentereng, tetapi pakaian besar yang dimaksud adalah yang dikenalkan oleh Suku Dani.
Di Suku Dani pakaian kebesaran sangat berbeda, karena justru mereka tidak mengenakan pakaian. Bagi kamu lelaki mereka hanya mengenakan koteka untuk menutup kemaluannya, kepala dengan topi dari bulu-bulu kasuari atau unggas lainnya dan hidung dicocok dengan hiasan dua buah taring babi yang disatukan pangkalnya. Tidak lupa mereka akan membawa noken, yakni tas dari rajutan serat-serat kulit pohon. Sedangkan kaum perempuan hanya mengenakan pakaian untuk menutupi bawahannya saja dan mereka bertelanjang dada ada juga yang sudah mengenakan pakaian lengkap walau masih sangat sederhana. Inilah keunikan Pasar Jibama yang menyedot banyak turis untuk mendatanginya, walau tidak bertransaksi tetapi mereka benar-benar akan menikmati keunikannya.
[caption id="attachment_378539" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu penduduk suku dani yang baru saja pulang dari pasar di Wamena. Pemandangan ini sangat lumrah ditemui di sana (dok.pri)."]
Harga barang-barang di pasar ini sangat mahal, bahkan beberapa turis yang berduit jarang yang membeli barang-barang di sini. Mengapa demikian, karena semua barang didatangkan dari luar Wamena dan satu-satunya transportasi adalah pesawat terbang. Jika ada yang membeli ikan laut, bebuahan, pakaian, elektronik, makanan ringan, rokok dan sejumlah sembako bisa dipastikan semua sudah naik pesawat terlebih dahulu dari Jayapura. Menuju Kabupaten Wamena hanya memungkinkan dengan pesawat terbang untuk distribusinya, karena jalan teramat susah dan butuh waktu berhari-hari. Penerbangan selama 1 jam dari Jayapura ke Wemanalah yang membuat harga berkali-kali lipat, belum lagi jika harus didatangkan dari Jawa atau Sulawesi.
Mahalnya harga-harga di pasar tersebut, sehingga hanya ada 2 jenis warna uang yang dipakai, yakni merah dan biru. Warna merah merujuk pada pecahan seratus ribu dan biru pecahan lima puluh ribu. Uang-uang pecahan dua puluh ribu, sepuluh ribu atau lima ribuan sangat jarang ditemukan bahkan uang logam nyaris tidak ada. Jangan membayangkan daya beli mereka sangat rendah, karena uang di sana sangat melimpah. Mereka bisa belanja kebutuhan sesehari di pasar hingga habis ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Bukan mereka adalah orang kaya dan berada, memang karena keadaan yang membuat harga-harga sangat tinggi.
Tingginya harga barang tak membuat orang-orang di sana tak surut dalam berbelanja. Mereka sudah terbiasa dengan harga barang yang hampir tiga sampai lima kali lipat di Pulau Jawa, sehingga harga ikan satu ikat di Jawa mungkin hanya sepuluh ribu di sana bisa menjadi lima puluh ribu dan itu pun tidak ditawar. Satu tanda buah markisa dihargai lima puluh ribu rupiah, tetapi menjelang sore saat tidak laku dijual akan diberikan secara cuma-cuma, demikian juga dengan barang yang lain, sungguh unik bukan?
[caption id="attachment_378541" align="alignnone" width="640" caption="Salahs atu sudut pasar di Lembah baliem yang menjajakan kayu bakar (Dk.pri"]
Sore itu rasa penasaran saya terobati manakala menjejakkan kaki di pasar unik tersebut. Langkah kaki saya terhenti dan saya tertawa sejadi-jadinya manakala ada seekor babi yang masuk di los sayur dan mengacak-acak barang dagangan. Pedagang hanya bisa mengumpat dan menghalau babi tanpa menyakitinya. Beberapa ekor babi sepertinya juga sudah siap menunggu lengahnya penjaja sayur dan bersiap untuk merangsek. Ironis, tetapi unik bagi para wisatawan yang ingin menyaksikan kejadian yang tidak ada di tempat lain ini.
Baru kali ini saya melihat ubi-ubi jalar dengan umbi berukuran raksana. Tidak terbayangkan jika membeli satu dan harus dipotong menjadi berapa bagian agar muat di panci. Inilah salah satu hasil bumi dari Tanah Mutiara Hitam. Saya berpindah di los sayur yang menjajakan anekan macam hasil pertanian. Uniknya para pedagang di sini tidak berjualan di atas meja dari semen yang disediakan pemerintah. Mama-mama di sini justru menggelar dagangannya di lantai beralaskan karung bekas. Alasan sederhana dan masuk akan mengapa mereka menggelar dagangan di bawah; mudah meletakkan dan menata, lebih luas, tidak khawatir barangnya jatuh, lebih awet karena di bawah lebih dingin, dan menjaganya lebih mudah karena orang tinggal duduk di bawah, sedangkan jika di atas repot dan harus menyediakan kursi.
Alhasil meja-meja tempat menaruh dagangannya berfungsi ganda. Di bawah berjualan sayuri mayur sedangkan di atas berjualan ponsel bekas dan penjualnya nangkring di atasnya. Dari bawah atap pasar terdengar suara meraung-raung pesawat dan sepertinya beberapa pedagang ini sudah hafal pesawat apa yang akan mendarat. Segera mereka bergegas ke bandara untuk mengambil barang dagangan atau pesanannya, seperti bumbu, ikan laut beku, sembako, pakaian bahkan semen.
[caption id="attachment_378543" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu sudut pasar Jibama di Lembah Baliem Papua (dok.pri)."]
Jauh dan terpencilnya Wamenan di tengah-tengah tanah Papua tidak menyurutkan geliat roda ekonomi di Pasar Jibama. Mereka tidak peduli berapa harga barang, yang penting ada dan tersedia. Uang bagi mereka mudah dicari, sedangkan barang dagangan harus menunggu dan minimal harus melalui 1 jam penerbangan. Pasar tak lagi menjadi arena jual-beli, tetapi sudah menjadi ladang bersosialita dan saling bertemu dengan sanak sodara dari kampung-kampung yang tersebar luas di Lembah Baliem. Mereka harus menempuh puluhan kilo dengan berjalan kaki dan pasarlah tempat yang paling mudah untuk bertemu karena semua kebutuhan hidup ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H