Saya berhenti di sebuah kios yang menjual jenis-jenis t-shirt. Gambar-gambar khas negeri Gajah Putih nampak terlukis jelas seperti, kuil, patung-patung, tuk-tuk, dan tulisan i love Thailand. Saya membeli sebuah t-shirt seharga 100bhat (Rp.36.000,00), kainya dari katun, tipis dan nyaman di pakai. Tips bagi para pelancong, jika ingin pergi ke Thailand cukup bawa 1-2 baju sisanya beli di sini karena murah-merah dan akhirnya saya memutuskan untuk membeli 6 buah, karena beli 5 bonus 1, namun teman saya bilang "beli 10 saja bonus 2" dan saya mengiyakan saja. Selusin kaos sudah di tas dan siap untuk jalan-jalan kembali.
Tak afdol berkunjung dinegeri orang untuk membeli oleh-oleh dan yang paling murah meriah adalah gantungan kunci. Beragam jenis gantungan kunci dijajakan di sini dengan bentuk-bentuk unik dan ikonik Thailand. Satu set gantungan kunci dijual 250bhat berisi 5 buah. Cukup murah, dan  saya beli 1 set saja sebagai syarat dan barang bukti sudah melancong di negeri orang. Baru berjalan beberapa langkah teman saya nyusul dan memberi tahu jika di kios sana satu set gantungan kunci yang jauh lebih bagus hanya 100bhat. Saya tidak mau kecewa, lalu gantungan kuncinya saya bayar saja dan biar dia kembali membeli lagi. Pesan moralnya adalah belajarlah menawar walau bahasa tidak mengerti.
[caption id="attachment_382113" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu penjual makanan yang menggelar dagangan di tepi jalan (dok.pri)."]
Sepanjang jalan ada tempat kusus yang digunakan para pedagang makanan menggelar dagangannya. Bisa disebut ini adalah PKLnya Thailand, namun tak seperti kebanyakan di tanah air. PKL di sini lebih tertib, bersih, ramah, dan yang pasti ada yang cantik. Aneka jenis makanan yang menggiurkan dan menggoyang lidah diperjual belikan dengan harga yang murah. Bisa membayangkan satu potong besar daging dihargai hanya 40bhat dan bisa langsung dimakan di tempat. Bisa dikatakan di sinilah salah satu surga kuliner jalanan yang murah meriah dan yang pasti enak.
[caption id="attachment_382114" align="alignnone" width="640" caption="Kepiting kecil-kecil yang kadang tidak ada nilainya disulap menjadi panganan yang memikat (dok.pri)."]
Saya tertarik pada aneka jenis seafood yang dijajakan. Yang menjadi ketertarikan saya adalah variasi jenis masakan dan tampilan, walau dari jenis yang sama namun para pedahang di sini bisa mengalihrupakan menjadi lebih beragam. Dari rajungan atau kepiting yang berukuran kecil-kecil disulap menjadi penganan yang gurih dan renyah, dan bisa memakan cangkangnya bulat-bulat. Adapula cumi-cumi yang di suir-suir tipis dan dikeringkan mirip ikan asin, namun bisa langsung di makan yang dihargai 60bhat untuk 100gramnya. Saya cukup menjadi juru cicip saja dengan mengambil sampel yang di sediakan. Jika ingin kenyang, maka cobalah semuanya sampel dan jangan lupa bawa nasi putih.
[caption id="attachment_382116" align="alignnone" width="640" caption="Cumi-cumi yang dibuat mirip ikan asin dan bisa langsung dimakan memaksa saya merogoh dompet unuk menebusnya (dok.pri)."]
Jalanan di sini memang surganya kulianer jalanan yang murah meriah dan menggiurkan. Jika ada yang tidak berkenan dengan babi atau sejenisnya yang dianggap haram, masih banyak pilihan dan mereka berani menjamin halal. Setiap makanan yang dijajakan selalu diberi label dan harga sehingga jika tak mengerti bahasa Thailand, Mandarin atau Inggris cukup tunjuk saja lalu bayar selesai perkara. Jika tak mengerti berapa jumlah harga, maka pedagang akan menunjukan harga dengan mengetikan angka di kalkulator.
[caption id="attachment_382115" align="alignnone" width="640" caption="Pedangan selalu memberikan label jenis makanan dan harga, sehingga pengunjung bebas memilih (dok.pri)."]
Angin apa yang membawa saya pada seoang gadis penjual jagung bakar seharga 10bhat. Saya dipersilahkan duduk di kursi yang disediakan dan dia nampak sibuk membakar jagung. Saya mengamati wajahnya yang putih bersih, pipi merona merah  nampak cantik dan nampak keringat yang menetes karena hawa panas dari tungku pembakaran. Saya teringat film Thailand yang berjudul "Crazy Little Thing Called Love" dan membayangkan saya bisa bermain sepak bola lalu memutuskan menjadi fotografer. Lamunan saya sirna manakala gadis tersebut menyodorkan sebuah jagung bakar dan saya meminta satu lagi sambil terus memandangi wajahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H