[caption id="attachment_390744" align="alignnone" width="640" caption="Saat di tanya alasan bersepeda "][/caption]
Saya tidak membayangkan sebelumnya bisa mengayuh sepeda dengan melewati bermacam wujud medan. Bersepeda biasanya sudah terbagi menjadi beberapa kekusususan yang disesuaikan dengan medan dan model sepeda. Untuk mereka yang hobi di jalanan, diciptakan sepeda balap atau fixie yang didisain dengan kecepatan. Mereka yang hobi keluar masuk kampung atau jalan-jalan di alam dibuatlah sebepeda MTB, berbeda dengan mereka yang suka jumpalitan dengan tingkat kesulitan tinggi maka orang akan memilih sepeda yang tahan banting layaknya dirty jump atau BMX. Ada juga yang sukanya turun bukit, maka diciptakan sepeda down hill yang kusus untuk beradu dengan gravitasi dan kemiringan.
[caption id="attachment_390745" align="alignnone" width="640" caption="Sepeda gunung pun harus naik di punggung bus (dok.pri)."]
Bersepeda banyak sekali fungsinya dan tujuannya, dari hanya sebatas senang-senang, bekerja, olah raga hingga mereka yang profesional terhadap kereta angin ini. Namun, mungkin saya kategori penikmat alam sambil bersepeda, dan itu saja alasan saya saat ditanya alasan bersepeda. Memulai perjalanan dari tengah kota Salatiga di ketinggian 600an mdpl, untuk menuju Ngablak yang berketinggian 1300 mdpl sejauh 13 km sangat mustahil bagi saya untuk mengayuh tanjakan. Cukup bijak dengan menumpang bus, sekaligus sepeda naik di atapnya. Dengan ongkos hanya Rp 12.500,00 sekali jalan cukup murah dibanding dengan apa yang didapatkan nanti selama perjalanan.
Pasar Ngablak-Magelang adalah start saya bersama rekan untuk memulai mengayuh kereta angin ini. Tujuan kami adalah gunung Telomoyo yang ada di sisi timur laut. Jalanan aspal kami lewati dengan mulus untuk menuju Dusun Blancir lalu ke Dusun Pandean. Jalan aspal yang mulus dan menurun memompa hasrat kami untuk terus memaksimalkan kecepatan, sebelum nanti disiksa tanjakan di Gunung Telomoyo. jarak 5 km kami tempuh hanya sekitar 15 menit, karena kami di untungkan dengan jalan menurun dan mulus. Begitu kami memasuki Pandean, yakni pintu gerbang menuju Gunung Telomoyo baru merasakan yang namanya tanjakan. 4 km tanjakan berat harus kami lewati dengan jalan berkelok dan aspal yang sudah rusak parah. Awal kayuhan kami menyesuikan dengan roda gerigi yang ringan dan semakin ringan untuk melewati tanjakan.
[caption id="attachment_390747" align="alignnone" width="640" caption="Mata air dan sungai jernih yang mengalir menjadi penghibur dan pelepas lelah selama mengayuh sepeda di tanjakan Gunung Telomoyo (dok.pri)."]
Tanjakan yang seperti tidak ada habisnya memaksa kami harus menginjakkan kaki di tanah. Alhasil kami harus menuntun tunggangan kami melewati jalanan yang menembus hutan pinus. Hawa dingin menyeruak manakala angin gunung disertai kabut menyambut kami. GPS menunjukan kami sudah di ketinggian 1600 mdpl, dan berharap agar segera menyelesaikan tanjakan yang seoalah tidak ada habisnya. Sebuah sungai kecil yang mengalir dari bebatuan menghentikan laju sepeda kami. Bisa dibayangkan betapa segarnya air pegunungan yang sangat dingin, jernih dan benar-benar nikmat. Rasa dahaga pun hilang manakala muka ini terbasuh dengan air yang belum tercemar ini. Kami sadar kayuhan sepeda kami masih jauh.
[caption id="attachment_390749" align="alignnone" width="640" caption="Tak kuat mengayuh, maka menuntun pun jadi (dok.pri)."]
Akhirnya sebuah jalan setapak kecil sudah menghadang kami. Inilah jalan tembus yang akan mengarahkan kami menuju Dusun Pager Gedog  hingga Banyu Biru-Ambarawa. Jalan setapak nan licin dan curam, itulah yang harus dihadapi. Butuh konsentrasi, ketrampilan mengemudikan sepeda dan kondisi rem sepeda yang baik. Jika berjalan pelan maka akan sangat mudah terpeleset, jika kencang kan mudah untuk terpelanting, langkah bijak sesuaikan dengan kondisi jalan kapan harus pelan kapan harus cepat, atau sama sekali harus turun dan menuntun sepeda.
[caption id="attachment_390748" align="alignnone" width="640" caption="Jatuh bangun adalah rona-rona perjalanan yang kami lewati, nampak rekan saya yang baru saja terjungkal (dok.pri)."]
Berkali-kali kami jatuh bangun gegara roda sepeda kami tidak bisa mencengkeram dengan baik untuk tanah yang licin. Inilah kenikmatan yang kadang tidak bisa dibayar manakala adrenalin benar-benar membuncah hingga tumpah ruah. Kami seolah kembali pada masa anak-anak yang sangat riang mendapat mainan baru berupa sepeda gunung dan jalur lintasan yang ekstrim. Kayuhan kami berhenti manakala bertemu dengan rombongan pengendara motor trail yang sama-sama sedang mencari jalan di tengah-tengah hutan pinus. Sebuah pemandangan yang kontras manakala tenaga manusia lewat kayuhan pedal bertemu dengan tenaga dari tarikan gas mesin. Lambaian tangan menjadi perpisahan kami, dan saatnya kami melanjutkan kayuhan pedal ini.
Akhirnya kami sampai di Desa Sepakung yang nampak riuh karena sedang ada turnamen bola voli. Kami hanya mengintip sesaat karena haru sudah senja dan kawatir kemalaman di tengah jalan. Kali ini kami benar-benar dimanjakan oleh jalan aspal yang mulus, menurun, kadang menikung dan lengan. Sisi kanan kami adalah jurang yang dalam, kerena kami sedang melilir di punggungan sebuah bukit. Pemandangan yang sangat indah karena ada 2 buah bukit yang membentang. Bentang alam ini mengingatkan saya pada Lemah Baliem di Wamena-Papua.
[caption id="attachment_390750" align="alignnone" width="640" caption="Setelah hampir 3 jam mengarungi hutan berdua akhirnya kami bertemu dengan para pengendara sepeda motor trail (dok.pri)."]
Kecepatan sepeda kami rerata 40km/jam, untuk jalan menurun dan menikung. Kami berteriak-teriak mirip anak kecil yang sedang riang sambil menikmati pemadangan alam. Di beberapa titik kami harus berhenti kerana sayang pemandangan alam indah ini untuk dilewatkan. setelah mengayuh sepeda 3 jam lebih kami sampai di Banyu Biru-Ambarawa dengan jarak 19,5 km. Perjalan belum usai, karena perjanjian awalnya kami berencana naik bus menuju Salatiga, namun ada daya bus sudah habis. Alhasil dalam gelap malam kami harus mengayuh sepeda sejauh 14 km, namun semua lunas terbayar manakala gemerlap lampu kota sudah terlihat sambil gerimis menyambut kami.
[caption id="attachment_390751" align="alignnone" width="640" caption="Peta jalur sepeda kami, yang suatu saat harus dilewati kembali (dok.pri)."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H